Selasa, 10 Februari 2015

Ingatan Terakhir tentang Cahaya

“Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!” suara seorang laki-laki terdengar tidak berdaya di bilik sebelah.
Apa ruginya? Daripada membusuk di sii seumur hidupmu.
Tentu saja cahayaku tidak ingin aku mendekam tanpa usaha apapun. Bahkan berteriak seperti si lelaki tampaknya lebih berdaya daripada aku.  Tapi dia sudah mati.
Pikiranku terantuk pada ingatan yang tidak ingin kuingat lagi. Bagaimana dia mati…


Entah berapa lama Reinmix terus terusan nerocos. Bergaya di depan, di atas punggu Destildow. Kuda hitam itu terus mondar-mandir di depan barisan pasukan berpedang. Aku tidak perlu kata-kata bodoh penebar semangat seperti itu tidak, saat semangatku meledak-ledak menghadapi perang pertamaku.
Tidak ada takut. Tentu saja, aku orang yang pemberani. Meskipun dari tadi detakan jantungku meningkat berkali lipat. Itu karena semangat, bukan hal lain.
“Aku bosan. Bosaaaaaaannn,” keluhku pada Esterna Ellane Emor, kakak perempuanku.
“Tenang, Saer. Aku sendiri juga ingin menyumpal mulutnya,” bisiknya, nyengir.  Tidak sepantasnya dia mengatakan itu, Reinmix mentornya. Mungkin dia mengatakannya demi aku.
Tidak ada ketakutan atau demam apapun dalam raut Ell. Dia tiga tahun lebih tua. Lagi pula pengalamannya menghadapi perang lebih banyak bahkan sebelum usianya mencaai usiaku sekarang. Lulusan terbaik, cantik dan berbakat, siapa yang tidak ingin menjadi sepertinya? Hanya aku, kupikir. Bagiku dia bukan seorang saudari. Dia pengekangku. Dia mencengkram erat tali temali bayangnan yang menjadi penggerakku. Untuk itulah, aku bersyukur menjejakkan kaki bersama Gisda—kudaku, ke dalam medan perang berminggu-minggu lebih awal dari gadis seangkatanku.
Ell tampak begitu menakjubkan di atas Modiv, kuda emas betinanya. Baju pelindung melekat erat di tubuhnya, begitu sesuai. Senjata pasukan berpedang biasa tampak luar biasa terselip di pinggulnya. Rambutnya berombak dibiarkan tergerai. Sebuah tiara penghargaan sebagai pasukan teladan dan terbaik, nangkring, memisahkan wajah dan helaian halus rambutnya. Ya, dia seperti  kukatakan tadi, tidak ada yang menandinginya sebagai si tertangguh dan terbaik dalam pasukan. Ditambah paling muda dan cantik.
Aku iri? Ya, mungkin sedikit. Ell tidak perlu susah susah menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Semua menyukainya, bahkan saat berbohong demi aku sekalipun. Dia banyak berbohong untuk menyembunyikan siapa aku. Dia berbohong dengan mengatas namakan dirinya sendiri. Tidak mudah diterima pada masa-masa awal, tapi aku membiarkannya. Tidak menyenangkan jika orang-prang mengetahui siapa aku di masa-masa ini. Dan Ell mengorbankan dirinya sendiri, seolah bersembunyi dari menjadi apa yang seharusnya kumiliki, kekuatan itu. Rumor-rumor mulai berkembang bahwa Ell memilikinya. Sementara aku, pemilik yang sebenarnya aman dalam bayangan saudariku.
Ell memperhatikan aku sekali lagi, meneliti.
“Massiq-mu perlu dikencangkan lagi,” koreksinya, “Sampai benar-benar merasa tertekan. Begitu saja tidak bisa!”
Aku mengeluh sambil lalu. Tiak hanya tameng kecil dilenganku, semua pakaian rajurit ini memang tidak sesuai, terlalu besar dan berat. Pakaian ini bukan milikku. Belum saatnya aku memiliki pakaian ini dan belum saatnya bagiku untuk memakainya. Bahkan sebenarnya,  aku belum diijinkan masuk ke dalam arena perang. Aku bahkan belum lulus sekolah keprajuritan, apa lagi disahkan sebagai pasukan pembantu.
Mau tahu bagaimana aku bisa masuk kesini?
Awalanya adalah cercaan sekitar tentang betapa menyulitkanya aku bagi Ell, bahwa dia paling berharga diantara seluruh prajurit dan betapa aku membebaninya. Bahwa aku tidak mungkin bisa mengikuti jejaknya dengan usaha keras sekalipun.
Aku memohon-moon di depan Reinmix sebagai ajang pembuktian diri. Merengek-rengek supaya aku diikutkan perang kali ini, dengan penuh percaya diri. Kenapa tidak? Prestasiku tidak jelek-jelek amat, meskipun di bawah Ell, aku memenangkan nilai-nilai (bahkan dengan itupun tidak cukup menutup mulut mereka membandingkan aku dengan saudariku). Imbasnya,  Dreida Reinmix harus menjadi lawanku dalam suatu duel. Tubuhku menerima pukulan bertubi-tubi  dan penghargaan paling tinggi yang bsia kudapatkan adalah membersihkan kandang kudanya tiap hari. Aku tidak keberatan, kuda-kuda adalah temanku.
Imbalannya benar-benar memuaskan Reinmix Shaega mengijinkan aku masuk. Dengan Ell sebagai mentorku pula. Mungkin ada campur tangan darinya hingga aku bisa masuk, tapi bagaimanapun aku tidak risau merasa konyol dengan pakaian seperti ini semnetara Ell sangat amat sempurna.
Sesegera, aku mengencangan sabuk yang mengikat massiq—perisai oval kecil yang menempeli erat tangan kiriku.
Reinmix masih saja nerocos. Dengan mudah kata-katanya masuk keluar tanpa sempat dicerna sama sekali. Aku kenyang menerima ceramahnya dan olokan dari Dreidanya selama seminggu ini.
“Hentikan itu!” Dreida Reinmix ternyata ada di belakangku, mengggertak rendah.  Tanpa sadar aku memainkan pendangku. Mengangkatnya sedikit dengan ibu jari dan membiarkannya tersarung kembali beberapa kali dengan bunyi yang cukup terdengar hingga radius dua sap.
Lihat bahkan dia hanya berani di sap tiga!
“Gugup?” olok Ell.
“Tidak!” jawabku yakin. Kembali memegang kekang Gisda—kuda jantan emas milikku.
Aku mencoba mencari-cari pemandangan di depan. Mengenyahkan pikiran buruk yang perlahan menghantuiku. Tidak akan kubiarkan pikiran itu merasukiku terlalu dalam.
Mustahil melihat kedepan. Pasukan rapat, sejauh mataku melihat adalah punggung pasukan bertombak degan kuda mereka. Barisan rapat, aku tidak bisa mengira kapan musuhku datang.
“Jangan-jangan kau akan lari bahkan sebelum, perang dimulai seperti cewek yang lain?”
“Aku tidak seperti itu, Ell,” sanggahku cepat, tidak mau dia mengataiku cengeng. Ell akan tahu seberapa kuatnya aku.
“Kita lihat saja, nanti.”

Reinmix sudah meghentikan ceramahnya. Kata Ell itu bisa berarti dua hal. Bahwa pasukan sudah terlihat, atau kami yang siap menyerang. Yang manapun itu, menandakan perang bisa dimulai kapan saja.
Suasana sunyi sekaligus tegang. Bau-bau perang segera tercium. Pikiranku kembali di telusupi cemas yang tidak kuinginkan.
“Ell,” kupikir itu suaraku. Ternyata Dreida Reinmix memanggi di belakang, “Semoga ebrhasil.”
Ellena Emor tersenyum sebelum menoleh padaku, lalu melempar senyum lebih hangat dan menenangkan.
Aku mendengus, aku tidak perlu ditenangkan.
Kenapa tiba-tiba kesunyian membawa efek mencekam? Pikiran buruk berhasil masuk lebih dalam.
Mundur saja kalau memang tidak mau. Akan ada banyak kematian. Aku masih belum siap untuk mengahadapinya,” sesuatu dalam kepalaku berbisik.    
Tidak akan, cengeng! Aku berkorban banyak untuk saat ini. Tidak akan ada kesia-siaan.”
Dengan jajaran barisan yang memblokade, aku tidak tahu apa yang tengah terjadi di depan. Apa perang sudah menghantam pasukan tombak di depan? Secepat apa megar mencapai barisan pasukan berpedang?
Tiba-tiba suara komando Wreida Shaega terdengar membahana.
“Bersiap!” itu untuk kami, pasukan berpedang baris kedua. Ell menghunus pedangnya. Suara seretan logam membautku berdesir ngilu. Dengan gagah, Ell mengacungkannya ke depan. Aku  mencabut senjataku belakangan, menjadikan suara logam lemah di antara suara jajaran degupan menanti serangan.  Bisa kurasakan tanganku kebas tiba-tiba dan licin oleh keringat dingin.
“Ell?” gumamku, mencari dukungan. Gambaran-gambran kematian mengusikku. Bagaiaman jika….ah, pergi kau pikiran jahat!
“Mundur?” kata Ellane Emor dengan nada menyepelekan. Maksudnya memompa semangatku, dia selalu melakukannya dan itu bekerja. Tapi kali ini aku butuh ekstra, “Eh, Saer. Mau tahu rahasia menjadi ksatria?”
“Apa itu?” aku bersedia masuk dalam permainaan kata-katanya demi mendapat dukunganku. Ell pasti menyadarinya.
“Apa itu?”
“Maju pertama dan mundur terakhir.”
“Tembak!” Suara membahana Alonulis Waryn memimpin pasukan pemanah. Tidak lebih dari sedetik hujan anak panah melintas, menjadikan bunga-bunga dari ribuan batang tipis kayu dalam lesatan melengkung, membunuh siapa saja yang berdiri bertombak-tombak di depan.
Teriakan Reinmix Shaega terdengar beberapa saat setelah itu.
“Serang!”
Tidak sampai tiga detik aku merasakan desakan mundur. Gisda gelisah mendapat dorongan dari depan. Aku mencoba mempertahankan posisi, mendesak maju. Tepat diatas kepalaku, hujan anak panah kedua terjadi dalam desingan melengkung, lewat dengan ketepatan sempurna.
Dinding yang terpilin dari bersap-sap prajurit di depanku jebol oleh mahluk hijau bergading.

Wow!

Lonjakan siagaku terjadi tiba-tiba. Memompa sebanyak mungkin kesiagaan disetiap ujung syaraf. Ratusan roang diepanku mulai saling bunuh. Suara udara yang robek oleh ayunan senjata. Desingan memenuhi telingaku. Aku tidak seharusnya berada di sini, aku tidak mau di sini.
Padang owuna yang tadinya berpasr gersang sekarang banjir darah hitam bercampur merah pekat. Eragan kesakitan dari tubuh-tubuh terkoyak dan jiwa terenggut. Menulikan telingaku. Pemandangan brutal ada di sekeliling, mataku tidak mempunyai tempat persembunyian bahkan saat menutup mata.
Suara teriakan mantra mulai terdengar beberapa kali.
Mual. Dan pusing. Badanku lemas. Semuanya berputar-putar. Gisdalear terdorong-dorong tanpa kendali.
Tempat mengerikan apa ini?
“Ellane…” aku memanggilnya lirih, membuka sedikit mulutku takut muntah. Aku  mencari-cari. Dia sedang membunuh beberapa megar di sekitar, melindungiku dari begitu banyak serangan.
 “Kau tuli?! Serang! Kerahkan semua kemampaunmu selama pelatihan!” Ell berteriak beberapa langkah dariku. Dia sibuk menyerang dengan gerak cekatan dan gagah berani sementara aku semakin menciut di tepatku.
Keampuanku yang mana? Seolah semuanya sirna dan terlupakan. Semua jerih payahku mendapat nilai terbaik sia-sia. Aku belum pernah ikut dalam perang percobaan sekalipun. Aku belum pernah belajar menghadapi situasi ini.
Seluruh apsukan kocar-kacir sekarang. Barisan tidak serapat saat semuanya berjajar. Seorang megar, wajahnya bersembunyi di balik topeng besi menghampiriku cepat dengan pedang bengkok menghujam ke arahku.
Aku menangkal serangannya. Walaupun hampir saja meleset. Tanganku gemetar hebat. Aku mencoba mencari keteguhanku sendiri, tapi tidak bisa mendapatkannya.
Aku mulai kewalahan. Serangan itu datang membabi buta. Andai saja mulut besarku tidak asal bicara dan menerima kenyataan sampai kapanpun kemampuankku tidak dapat mengungguli Ell.
Beberapa kesempatan menyerang aku sia-siakan.
“Bunuh dia!” perintah Ell mulai jengkel dengan sikap pengecutku. Dia berhasil menumbangkan musuh yang menyerangnya dan menyerangku. Dia tidak pernah meninggalkan salah satu sisiku.
“Ell, aku tidak bisa membunuh,” kataku gemetar. Aku begitu ingin menangis dan menyerah. Tapi itu sama saja dengan bunuh diri.
“Bunuh dia!”
Tidak! Aku tidak boleh menyerah sekarang. Aku harus bertanggung jawab pada omong besarku. Aku akan membuktikan  pada Ellena Emor bahwa aku juga sebaik dia. Terlambat untuk berputar.
“Saerga! Awas!” teriakan membahana. Spontan aku menoleh ke belakang. Ke arah saudariku. Megar lain menikamkan pedangnya ke arahku secepat kilat.
Sunyi selama sedetik. Begitu lama.
Apa yang harus kulakukan? Aku hanya mematung. Tidak tahu. Apa yang harus kulakukan? Ada aura begitu mengerikan di ujung mata perang itu hingga aku hanya mampu menutup mata pasrah berharap yang terbaik akan terjadi.
“Buderin Bulgor Ereknelu!” aku mendengar Dreida Shaega meraung. Jeritan perempuan merobek telingaku. Dan saat itulah aku membuka mata.  Dia berhasil menumbangkan dua megar di dekatku.
Tapi kuda Ell kehilangan penunggangnya.  Aku mencari, menemukan saudariku  tergeletak di tanah. Aku mengenali pedang yang mengincarku tadi, tertancap di perutnya.
Mataku terbelalak, menyadari pandangan pertamaku adalah bagaimana jeritannya membahana dan bagaiman dia perlahan roboh dari pungung kudanya, dan bagaimana dia tumbang.  Aku sadar, El menjadikan dirinya sendiri temeng untukku.
“Ellena Emor!” aku menjerit pilu, melompat seketika, tanpa perhitungan dari punggung Gisda. Kakiku menjerit, tapi aku tidak peduli. Aku mendekati Ell, mengundang kepalanya dengan lembut ke dalam buaianku. Perasaanku tercabik-cabing, sayatan pedang bahkan tidak mampu mengalahan betapa sakitnya aku sekarang. Semangat yang kubangun hancur sia-sia, melihat Ell berdarah-darah sementara Dreida Shaega melindungi kami dari bahaya sekitar.  
Pipiku sudah basah saat pandangannya kembali, menemuiku. Dia masih sadar. Dia masih hidup! Masih ada peluang!
“Rohcheifa!”  aku berteriak pada prajurit penyembuh di sekitar. Siapapun! Dengarkan teriakanku!
Aku menyangga kepala Ell dan membantunya merasa senyaman mungkin.  Dia masih hidup tapi keadaannya benar-benar parah. Mulutnya mengalirkan darah diiringi desahan napas  tidak teratur dan erangan kesakitan  tertahan. Wajahnya pucat. Dia memegangi perutnya yang berdarah-darah masih dengan pedang menancap.
Aku tidak sanggup. Ketakutan melandaku, lebih parah dari masa-masa sebelum perang.
“Ell,” panggilku lirih. Air mataku mengalir deras, “Maafkan aku.”
Itu kata maaf pertama yang terucap olehku. Betapa perasaanku hancur hanya mengucapkannya. Semua yang terjadi adalah akibat dariku dan Ell yang harus menanggung. Aku tidak ingin ini terjadi. Ell-ku yang cantik dan menyebalkn, jauh lebih baik daripada dia yang sekarang tidak berdaya dalam pangkuanku. Aku tidak bisa mempercayai dia sebegini payah.
“Caphinned sur Saerga.”  dia memanggil namaku di sela-sela sengalannya. Tangannya susah payah menjangkau, membelai pipiku, “Tidak apa-apa…”
Apakah aku yang lebih membutuhkan kata-kata itu? Ell terluka dan aku pengecut. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Bingung dan kalut tercampur sempurna dipikiranku. Mata hatiku tertutup.
“Rohcheifer akan segera datang, Ell. Kau akan baik-baik saja,” aku tidak bisa lagi membendung rasa bersalahku.  Tidak tahu kata apa yang bsia kugunakan untuk membuatnya percaya. Kepercayaannya mempengaruhiku juga.
“Omong kosong,” cengiran Ell terbit. Sebuah olok-olok untuk kematian di depan matanya, “Bunuh aku searang, Saerga.”
Ap…apa? Aku tercekat sedetik. Tunggu. Dia tidak benar-benar mengatakannya, kan? Apa maksudnya?
“Bunuh aku, Saerga,” dia mengulang. Berat dan lambat.
“Brengsek kau, Ell. Aku akan menyembuhkanmu. Aku butuh kau untuk melewati sisa dari ini semua.” Cengiran Ell ganti mengolokku. Tidak boleh, kami bisa melewatinya dia akan tetap hidup dan menjadi Ell yang menyebalkan. Aku tidak keberatan. Ganti kekangku dengan rantai besi, aku tidak akan keberatan. Apapun asal ia bersamaku lagi.  “Lihat ini. Lihat ini!” aku memaksanya, menunjukkan benda berkilat kecil muncul serta merta dari salah satu telapak tanganku.  Ell tersenyum. Membuat urat hatku diremas dengan sarung tangan duri. Tentu saja Ell pernah melihat petir itu menyambar dari tanganku. Untuk alasan itulah dia melindungiku, menjadikan dirinya selalu dalam sandiwara seolah dialah yang memilikinya. Diam-diam menyerret kepercayaan orang-orang dariku, bahwa aku gadis biasa. Bahwa aku tidak punya peluang untuk dikorbankan mati.  
“Aku tahu siapa kau, Saer,” mungkin baginya kilatan tanganku adalah sebuah ironi. Dia ingin menarik kecurigaan orang-orang pada dirinya tentang benda ini, meskipun tidak ada satu saksi matapun menyaksikan dia benar-benar mengeluarkan listrik. Tapi aku pernah, dia tahu aku bisa.
“Tidak. Kau tidak tahu siapa aku. Kau berpura-pura,” aku menyangkal semua perkataan yang mengarahkan saudariku pada kematiannya.
“Aku pasti mati, Saer… aku tidak mau mati di tangan megar…” suaranya mulai terutus-putus. Aku mulai sadar, tidak ada yang bisa kulakukan, “…lebih baik jika itu tanganmu.”
“Tidak akan!” aku menepis tangannya yang turun dari pipi ke lenganku. “Sendor Timmick tidak ingin kehillangan prajurit terkuat sepertimu,” aku mengerahkan kata-kata apapun. Jiwa prajurit Ell mugkin akan terketuk jika aku mengatakannya.
Tapi sia-sia. Aku tahu dia tidak akan selamat melewati ini. Tangannya kembali menggenggam pergelangan tanganku. Tangan kirinya bersarung kulit naga. Listrik tidak akan berpengaruh.
“Omong kosong. Tidak ada mantra Esterna Ellane Emor yang lebih kuat dari pada mantra Caphinned  sur Saerga.” Entah atas dasar kejadian mengerikan macam apa ibu kami menamai kami berdua dengan nama mantra milik Jeaswind Gra. Mungkin karena dia tahu salah satu diantara kami adalah dia. Salah satu diantara kami—apakah ibu juga bimbang menentukan siapa yang memiliki kekuatan itu diantara kami berdua?
Aku menangis sejadi-jadinya. Atas kesadaranku sekaligus pada permintaan terkahir Ell. Apa dia ingin aku menaggung rasa bersalah seumur hidupku atas bayarannya telah mengorbankan dirinya sendiri semasa hidup demi menutupi aku? Sejahat itukah dia? Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri. Aku ingin dia bertahan jika memang dia menyayangiku seperti apa yang selalu dikatakannya.
“Ell…” kataku lirih.
“Tidak apa Saer… jangan salahkan dirimu sendiri…” dia seolah membaca pikiranku, “Ini jalan yang kupilih… dan kau…tetaplah bersembunyi…” Ell tersenyum, penuh kemenangan, dia menarik tanganku masih berpendar oleh aliran listrik mematikan ke urat nadi di lehernya.
“Ell… tidak,” tidak ada jeritan. Seluruh organku seolah luruh, aku tidak mampu untuk berteriak, “Jangan lakukan itu, “ aku berusaha menarik tanganku, tapi tidak kuasa. Sisi lain inilah jalan yang dipilih Ell termasuk permintaan terakhirnya. Dia tidak ingin mati di tangan megar, tapi aku tidak ingin dia mati di tanganku.
Sialan kau, Ell!
Dengan gerakan pasti yagn tdak ingin kusaksikan, Ell menempelkan telapak tanganku ke lehernya. “Tidak, Ell.”
Tapi tidak ada protes lagi. Terlambat. Cahaya di tanganku padam dan Esterna Ellane Emor sudah menutup matanya. Raganya tertinggal bersamaku  tanpa rasa sakit sama sekali. Securit senyum kemenangan yang menyayat hati terlukis indah di wajahnya. Betapa damai dan memesonanya dia. Mati kerena perjuangannya melindungiku, seumur hidupnya. Karena janjinya pada ibu sebelum Waryn membawaku. Dia tidak lagi memikul semua, dia bebas.
Kesadaran itu tidak berpengaruh apapun pada amarahku. Aku marah, kalut, bingung dan takut. Dengan campuran semua itu, aku bertetiak kencang, memekik putus asa,
“Esterna Ellane Emor” mengerahkan semua tenagaku, memanggil sekaligus berharap dia kembali.
Gambaran perang terhapus dari mataku, berganti kilatan-kilatan kuning biru bermain, tenagaku lenyap. Dan aku…


Hentikan! Aku tidak kuat lagi.