“Aku
tidak mau mati! Aku tidak mau mati!” suara seorang laki-laki terdengar tidak berdaya
di bilik sebelah.
Apa
ruginya? Daripada membusuk di sii seumur hidupmu.
Tentu
saja cahayaku tidak ingin aku mendekam tanpa usaha apapun. Bahkan berteriak
seperti si lelaki tampaknya lebih berdaya daripada aku. Tapi dia sudah mati.
Pikiranku
terantuk pada ingatan yang tidak ingin kuingat lagi. Bagaimana dia mati…
…
Entah
berapa lama Reinmix terus terusan nerocos. Bergaya di depan, di atas punggu
Destildow. Kuda hitam itu terus mondar-mandir di depan barisan pasukan
berpedang. Aku tidak perlu kata-kata bodoh penebar semangat seperti itu tidak,
saat semangatku meledak-ledak menghadapi perang pertamaku.
Tidak
ada takut. Tentu saja, aku orang yang pemberani. Meskipun dari tadi detakan
jantungku meningkat berkali lipat. Itu karena semangat, bukan hal lain.
“Aku
bosan. Bosaaaaaaannn,” keluhku pada Esterna Ellane Emor, kakak perempuanku.
“Tenang,
Saer. Aku sendiri juga ingin menyumpal mulutnya,” bisiknya, nyengir. Tidak sepantasnya dia mengatakan itu, Reinmix
mentornya. Mungkin dia mengatakannya demi aku.
Tidak
ada ketakutan atau demam apapun dalam raut Ell. Dia tiga tahun lebih tua. Lagi
pula pengalamannya menghadapi perang lebih banyak bahkan sebelum usianya
mencaai usiaku sekarang. Lulusan terbaik, cantik dan berbakat, siapa yang tidak
ingin menjadi sepertinya? Hanya aku, kupikir. Bagiku dia bukan seorang saudari.
Dia pengekangku. Dia mencengkram erat tali temali bayangnan yang menjadi
penggerakku. Untuk itulah, aku bersyukur menjejakkan kaki bersama Gisda—kudaku,
ke dalam medan perang berminggu-minggu lebih awal dari gadis seangkatanku.
Ell
tampak begitu menakjubkan di atas Modiv, kuda emas betinanya. Baju pelindung
melekat erat di tubuhnya, begitu sesuai. Senjata pasukan berpedang biasa tampak
luar biasa terselip di pinggulnya. Rambutnya berombak dibiarkan tergerai.
Sebuah tiara penghargaan sebagai pasukan teladan dan terbaik, nangkring, memisahkan
wajah dan helaian halus rambutnya. Ya, dia seperti kukatakan tadi, tidak ada yang menandinginya
sebagai si tertangguh dan terbaik dalam pasukan. Ditambah paling muda dan
cantik.
Aku
iri? Ya, mungkin sedikit. Ell tidak perlu susah susah menarik perhatian
orang-orang di sekitarnya. Semua menyukainya, bahkan saat berbohong demi aku
sekalipun. Dia banyak berbohong untuk menyembunyikan siapa aku. Dia berbohong
dengan mengatas namakan dirinya sendiri. Tidak mudah diterima pada masa-masa
awal, tapi aku membiarkannya. Tidak menyenangkan jika orang-prang mengetahui
siapa aku di masa-masa ini. Dan Ell mengorbankan dirinya sendiri, seolah
bersembunyi dari menjadi apa yang seharusnya kumiliki, kekuatan itu.
Rumor-rumor mulai berkembang bahwa Ell memilikinya. Sementara aku, pemilik yang
sebenarnya aman dalam bayangan saudariku.
Ell
memperhatikan aku sekali lagi, meneliti.
“Massiq-mu
perlu dikencangkan lagi,” koreksinya, “Sampai benar-benar merasa tertekan.
Begitu saja tidak bisa!”
Aku
mengeluh sambil lalu. Tiak hanya tameng kecil dilenganku, semua pakaian rajurit
ini memang tidak sesuai, terlalu besar dan berat. Pakaian ini bukan milikku.
Belum saatnya aku memiliki pakaian ini dan belum saatnya bagiku untuk
memakainya. Bahkan sebenarnya, aku belum
diijinkan masuk ke dalam arena perang. Aku bahkan belum lulus sekolah
keprajuritan, apa lagi disahkan sebagai pasukan pembantu.
Mau
tahu bagaimana aku bisa masuk kesini?
Awalanya
adalah cercaan sekitar tentang betapa menyulitkanya aku bagi Ell, bahwa dia paling
berharga diantara seluruh prajurit dan betapa aku membebaninya. Bahwa aku tidak
mungkin bisa mengikuti jejaknya dengan usaha keras sekalipun.
Aku
memohon-moon di depan Reinmix sebagai ajang pembuktian diri. Merengek-rengek
supaya aku diikutkan perang kali ini, dengan penuh percaya diri. Kenapa tidak?
Prestasiku tidak jelek-jelek amat, meskipun di bawah Ell, aku memenangkan
nilai-nilai (bahkan dengan itupun tidak cukup menutup mulut mereka membandingkan
aku dengan saudariku). Imbasnya, Dreida
Reinmix harus menjadi lawanku dalam suatu duel. Tubuhku menerima pukulan
bertubi-tubi dan penghargaan paling
tinggi yang bsia kudapatkan adalah membersihkan kandang kudanya tiap hari. Aku
tidak keberatan, kuda-kuda adalah temanku.
Imbalannya
benar-benar memuaskan Reinmix Shaega mengijinkan aku masuk. Dengan Ell sebagai
mentorku pula. Mungkin ada campur tangan darinya hingga aku bisa masuk, tapi
bagaimanapun aku tidak risau merasa konyol dengan pakaian seperti ini semnetara
Ell sangat amat sempurna.
Sesegera,
aku mengencangan sabuk yang mengikat massiq—perisai oval kecil yang menempeli
erat tangan kiriku.
Reinmix
masih saja nerocos. Dengan mudah kata-katanya masuk keluar tanpa sempat dicerna
sama sekali. Aku kenyang menerima ceramahnya dan olokan dari Dreidanya selama
seminggu ini.
“Hentikan
itu!” Dreida Reinmix ternyata ada di belakangku, mengggertak rendah. Tanpa sadar aku memainkan pendangku. Mengangkatnya
sedikit dengan ibu jari dan membiarkannya tersarung kembali beberapa kali
dengan bunyi yang cukup terdengar hingga radius dua sap.
Lihat
bahkan dia hanya berani di sap tiga!
“Gugup?”
olok Ell.
“Tidak!”
jawabku yakin. Kembali memegang kekang Gisda—kuda jantan emas milikku.
Aku
mencoba mencari-cari pemandangan di depan. Mengenyahkan pikiran buruk yang
perlahan menghantuiku. Tidak akan kubiarkan pikiran itu merasukiku terlalu
dalam.
Mustahil
melihat kedepan. Pasukan rapat, sejauh mataku melihat adalah punggung pasukan
bertombak degan kuda mereka. Barisan rapat, aku tidak bisa mengira kapan
musuhku datang.
“Jangan-jangan
kau akan lari bahkan sebelum, perang dimulai seperti cewek yang lain?”
“Aku
tidak seperti itu, Ell,” sanggahku cepat, tidak mau dia mengataiku cengeng. Ell
akan tahu seberapa kuatnya aku.
“Kita
lihat saja, nanti.”
Reinmix
sudah meghentikan ceramahnya. Kata Ell itu bisa berarti dua hal. Bahwa pasukan
sudah terlihat, atau kami yang siap menyerang. Yang manapun itu, menandakan
perang bisa dimulai kapan saja.
Suasana
sunyi sekaligus tegang. Bau-bau perang segera tercium. Pikiranku kembali di
telusupi cemas yang tidak kuinginkan.
“Ell,”
kupikir itu suaraku. Ternyata Dreida Reinmix memanggi di belakang, “Semoga
ebrhasil.”
Ellena
Emor tersenyum sebelum menoleh padaku, lalu melempar senyum lebih hangat dan menenangkan.
Aku
mendengus, aku tidak perlu ditenangkan.
Kenapa
tiba-tiba kesunyian membawa efek mencekam? Pikiran buruk berhasil masuk lebih
dalam.
“Mundur saja kalau memang tidak mau. Akan ada
banyak kematian. Aku masih belum siap untuk mengahadapinya,” sesuatu dalam
kepalaku berbisik.
“Tidak akan, cengeng! Aku berkorban banyak
untuk saat ini. Tidak akan ada kesia-siaan.”
Dengan
jajaran barisan yang memblokade, aku tidak tahu apa yang tengah terjadi di
depan. Apa perang sudah menghantam pasukan tombak di depan? Secepat apa megar
mencapai barisan pasukan berpedang?
Tiba-tiba
suara komando Wreida Shaega terdengar membahana.
“Bersiap!”
itu untuk kami, pasukan berpedang baris kedua. Ell menghunus pedangnya. Suara
seretan logam membautku berdesir ngilu. Dengan gagah, Ell mengacungkannya ke
depan. Aku mencabut senjataku
belakangan, menjadikan suara logam lemah di antara suara jajaran degupan
menanti serangan. Bisa kurasakan
tanganku kebas tiba-tiba dan licin oleh keringat dingin.
“Ell?”
gumamku, mencari dukungan. Gambaran-gambran kematian mengusikku. Bagaiaman
jika….ah, pergi kau pikiran jahat!
“Mundur?”
kata Ellane Emor dengan nada menyepelekan. Maksudnya memompa semangatku, dia
selalu melakukannya dan itu bekerja. Tapi kali ini aku butuh ekstra, “Eh, Saer.
Mau tahu rahasia menjadi ksatria?”
“Apa
itu?” aku bersedia masuk dalam permainaan kata-katanya demi mendapat
dukunganku. Ell pasti menyadarinya.
“Apa
itu?”
“Maju
pertama dan mundur terakhir.”
“Tembak!”
Suara membahana Alonulis Waryn memimpin pasukan pemanah. Tidak lebih dari
sedetik hujan anak panah melintas, menjadikan bunga-bunga dari ribuan batang
tipis kayu dalam lesatan melengkung, membunuh siapa saja yang berdiri
bertombak-tombak di depan.
Teriakan
Reinmix Shaega terdengar beberapa saat setelah itu.
“Serang!”
Tidak
sampai tiga detik aku merasakan desakan mundur. Gisda gelisah mendapat dorongan
dari depan. Aku mencoba mempertahankan posisi, mendesak maju. Tepat diatas
kepalaku, hujan anak panah kedua terjadi dalam desingan melengkung, lewat
dengan ketepatan sempurna.
Dinding
yang terpilin dari bersap-sap prajurit di depanku jebol oleh mahluk hijau bergading.
Wow!
Lonjakan
siagaku terjadi tiba-tiba. Memompa sebanyak mungkin kesiagaan disetiap ujung
syaraf. Ratusan roang diepanku mulai saling bunuh. Suara udara yang robek oleh
ayunan senjata. Desingan memenuhi telingaku. Aku tidak seharusnya berada di
sini, aku tidak mau di sini.
Padang
owuna yang tadinya berpasr gersang sekarang banjir darah hitam bercampur merah
pekat. Eragan kesakitan dari tubuh-tubuh terkoyak dan jiwa terenggut. Menulikan
telingaku. Pemandangan brutal ada di sekeliling, mataku tidak mempunyai tempat
persembunyian bahkan saat menutup mata.
Suara
teriakan mantra mulai terdengar beberapa kali.
Mual.
Dan pusing. Badanku lemas. Semuanya berputar-putar. Gisdalear terdorong-dorong
tanpa kendali.
Tempat
mengerikan apa ini?
“Ellane…”
aku memanggilnya lirih, membuka sedikit mulutku takut muntah. Aku mencari-cari. Dia sedang membunuh beberapa
megar di sekitar, melindungiku dari begitu banyak serangan.
“Kau tuli?! Serang! Kerahkan semua kemampaunmu
selama pelatihan!” Ell berteriak beberapa langkah dariku. Dia sibuk menyerang
dengan gerak cekatan dan gagah berani sementara aku semakin menciut di tepatku.
Keampuanku
yang mana? Seolah semuanya sirna dan terlupakan. Semua jerih payahku mendapat
nilai terbaik sia-sia. Aku belum pernah ikut dalam perang percobaan sekalipun.
Aku belum pernah belajar menghadapi situasi ini.
Seluruh
apsukan kocar-kacir sekarang. Barisan tidak serapat saat semuanya berjajar.
Seorang megar, wajahnya bersembunyi di balik topeng besi menghampiriku cepat
dengan pedang bengkok menghujam ke arahku.
Aku
menangkal serangannya. Walaupun hampir saja meleset. Tanganku gemetar hebat.
Aku mencoba mencari keteguhanku sendiri, tapi tidak bisa mendapatkannya.
Aku
mulai kewalahan. Serangan itu datang membabi buta. Andai saja mulut besarku
tidak asal bicara dan menerima kenyataan sampai kapanpun kemampuankku tidak
dapat mengungguli Ell.
Beberapa
kesempatan menyerang aku sia-siakan.
“Bunuh
dia!” perintah Ell mulai jengkel dengan sikap pengecutku. Dia berhasil
menumbangkan musuh yang menyerangnya dan menyerangku. Dia tidak pernah
meninggalkan salah satu sisiku.
“Ell,
aku tidak bisa membunuh,” kataku gemetar. Aku begitu ingin menangis dan menyerah.
Tapi itu sama saja dengan bunuh diri.
“Bunuh
dia!”
Tidak!
Aku tidak boleh menyerah sekarang. Aku harus bertanggung jawab pada omong
besarku. Aku akan membuktikan pada
Ellena Emor bahwa aku juga sebaik dia. Terlambat untuk berputar.
“Saerga!
Awas!” teriakan membahana. Spontan aku menoleh ke belakang. Ke arah saudariku.
Megar lain menikamkan pedangnya ke arahku secepat kilat.
Sunyi
selama sedetik. Begitu lama.
Apa
yang harus kulakukan? Aku hanya mematung. Tidak tahu. Apa yang harus kulakukan?
Ada aura begitu mengerikan di ujung mata perang itu hingga aku hanya mampu
menutup mata pasrah berharap yang terbaik akan terjadi.
“Buderin
Bulgor Ereknelu!” aku mendengar Dreida Shaega meraung. Jeritan perempuan
merobek telingaku. Dan saat itulah aku membuka mata. Dia berhasil menumbangkan dua megar di
dekatku.
Tapi
kuda Ell kehilangan penunggangnya. Aku
mencari, menemukan saudariku tergeletak
di tanah. Aku mengenali pedang yang mengincarku tadi, tertancap di perutnya.
Mataku
terbelalak, menyadari pandangan pertamaku adalah bagaimana jeritannya membahana
dan bagaiman dia perlahan roboh dari pungung kudanya, dan bagaimana dia
tumbang. Aku sadar, El menjadikan
dirinya sendiri temeng untukku.
“Ellena
Emor!” aku menjerit pilu, melompat seketika, tanpa perhitungan dari punggung
Gisda. Kakiku menjerit, tapi aku tidak peduli. Aku mendekati Ell, mengundang kepalanya
dengan lembut ke dalam buaianku. Perasaanku tercabik-cabing, sayatan pedang
bahkan tidak mampu mengalahan betapa sakitnya aku sekarang. Semangat yang
kubangun hancur sia-sia, melihat Ell berdarah-darah sementara Dreida Shaega melindungi
kami dari bahaya sekitar.
Pipiku
sudah basah saat pandangannya kembali, menemuiku. Dia masih sadar. Dia masih
hidup! Masih ada peluang!
“Rohcheifa!”
aku berteriak pada prajurit penyembuh di
sekitar. Siapapun! Dengarkan teriakanku!
Aku
menyangga kepala Ell dan membantunya merasa senyaman mungkin. Dia masih hidup tapi keadaannya benar-benar
parah. Mulutnya mengalirkan darah diiringi desahan napas tidak teratur dan erangan kesakitan tertahan. Wajahnya pucat. Dia memegangi
perutnya yang berdarah-darah masih dengan pedang menancap.
Aku
tidak sanggup. Ketakutan melandaku, lebih parah dari masa-masa sebelum perang.
“Ell,”
panggilku lirih. Air mataku mengalir deras, “Maafkan aku.”
Itu
kata maaf pertama yang terucap olehku. Betapa perasaanku hancur hanya mengucapkannya.
Semua yang terjadi adalah akibat dariku dan Ell yang harus menanggung. Aku
tidak ingin ini terjadi. Ell-ku yang cantik dan menyebalkn, jauh lebih baik daripada
dia yang sekarang tidak berdaya dalam pangkuanku. Aku tidak bisa mempercayai
dia sebegini payah.
“Caphinned
sur Saerga.” dia memanggil namaku di
sela-sela sengalannya. Tangannya susah payah menjangkau, membelai pipiku,
“Tidak apa-apa…”
Apakah
aku yang lebih membutuhkan kata-kata itu? Ell terluka dan aku pengecut. Aku
tidak tahu harus berbuat apa. Bingung dan kalut tercampur sempurna dipikiranku.
Mata hatiku tertutup.
“Rohcheifer
akan segera datang, Ell. Kau akan baik-baik saja,” aku tidak bisa lagi
membendung rasa bersalahku. Tidak tahu
kata apa yang bsia kugunakan untuk membuatnya percaya. Kepercayaannya
mempengaruhiku juga.
“Omong
kosong,” cengiran Ell terbit. Sebuah olok-olok untuk kematian di depan matanya,
“Bunuh aku searang, Saerga.”
Ap…apa?
Aku tercekat sedetik. Tunggu. Dia tidak benar-benar mengatakannya, kan? Apa maksudnya?
“Bunuh
aku, Saerga,” dia mengulang. Berat dan lambat.
“Brengsek
kau, Ell. Aku akan menyembuhkanmu. Aku butuh kau untuk melewati sisa dari ini
semua.” Cengiran Ell ganti mengolokku. Tidak boleh, kami bisa melewatinya dia
akan tetap hidup dan menjadi Ell yang menyebalkan. Aku tidak keberatan. Ganti
kekangku dengan rantai besi, aku tidak akan keberatan. Apapun asal ia bersamaku
lagi. “Lihat ini. Lihat ini!” aku memaksanya,
menunjukkan benda berkilat kecil muncul serta merta dari salah satu telapak
tanganku. Ell tersenyum. Membuat urat hatku
diremas dengan sarung tangan duri. Tentu saja Ell pernah melihat petir itu
menyambar dari tanganku. Untuk alasan itulah dia melindungiku, menjadikan
dirinya selalu dalam sandiwara seolah dialah yang memilikinya. Diam-diam
menyerret kepercayaan orang-orang dariku, bahwa aku gadis biasa. Bahwa aku
tidak punya peluang untuk dikorbankan mati.
“Aku
tahu siapa kau, Saer,” mungkin baginya kilatan tanganku adalah sebuah ironi.
Dia ingin menarik kecurigaan orang-orang pada dirinya tentang benda ini,
meskipun tidak ada satu saksi matapun menyaksikan dia benar-benar mengeluarkan
listrik. Tapi aku pernah, dia tahu aku bisa.
“Tidak.
Kau tidak tahu siapa aku. Kau berpura-pura,” aku menyangkal semua perkataan
yang mengarahkan saudariku pada kematiannya.
“Aku
pasti mati, Saer… aku tidak mau mati di tangan megar…” suaranya mulai
terutus-putus. Aku mulai sadar, tidak ada yang bisa kulakukan, “…lebih baik
jika itu tanganmu.”
“Tidak
akan!” aku menepis tangannya yang turun dari pipi ke lenganku. “Sendor Timmick
tidak ingin kehillangan prajurit terkuat sepertimu,” aku mengerahkan kata-kata
apapun. Jiwa prajurit Ell mugkin akan terketuk jika aku mengatakannya.
Tapi
sia-sia. Aku tahu dia tidak akan selamat melewati ini. Tangannya kembali menggenggam
pergelangan tanganku. Tangan kirinya bersarung kulit naga. Listrik tidak akan
berpengaruh.
“Omong
kosong. Tidak ada mantra Esterna Ellane Emor yang lebih kuat dari pada mantra
Caphinned sur Saerga.” Entah atas dasar
kejadian mengerikan macam apa ibu kami menamai kami berdua dengan nama mantra
milik Jeaswind Gra. Mungkin karena dia tahu salah satu diantara kami adalah
dia. Salah satu diantara kami—apakah ibu juga bimbang menentukan siapa yang
memiliki kekuatan itu diantara kami berdua?
Aku
menangis sejadi-jadinya. Atas kesadaranku sekaligus pada permintaan terkahir
Ell. Apa dia ingin aku menaggung rasa bersalah seumur hidupku atas bayarannya
telah mengorbankan dirinya sendiri semasa hidup demi menutupi aku? Sejahat
itukah dia? Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri. Aku ingin dia
bertahan jika memang dia menyayangiku seperti apa yang selalu dikatakannya.
“Ell…”
kataku lirih.
“Tidak
apa Saer… jangan salahkan dirimu sendiri…” dia seolah membaca pikiranku, “Ini
jalan yang kupilih… dan kau…tetaplah bersembunyi…” Ell tersenyum, penuh
kemenangan, dia menarik tanganku masih berpendar oleh aliran listrik mematikan
ke urat nadi di lehernya.
“Ell…
tidak,” tidak ada jeritan. Seluruh organku seolah luruh, aku tidak mampu untuk
berteriak, “Jangan lakukan itu, “ aku berusaha menarik tanganku, tapi tidak kuasa.
Sisi lain inilah jalan yang dipilih Ell termasuk permintaan terakhirnya. Dia
tidak ingin mati di tangan megar, tapi aku tidak ingin dia mati di tanganku.
Sialan
kau, Ell!
Dengan
gerakan pasti yagn tdak ingin kusaksikan, Ell menempelkan telapak tanganku ke
lehernya. “Tidak, Ell.”
Tapi
tidak ada protes lagi. Terlambat. Cahaya di tanganku padam dan Esterna Ellane
Emor sudah menutup matanya. Raganya tertinggal bersamaku tanpa rasa sakit sama sekali. Securit senyum
kemenangan yang menyayat hati terlukis indah di wajahnya. Betapa damai dan memesonanya
dia. Mati kerena perjuangannya melindungiku, seumur hidupnya. Karena janjinya
pada ibu sebelum Waryn membawaku. Dia tidak lagi memikul semua, dia bebas.
Kesadaran
itu tidak berpengaruh apapun pada amarahku. Aku marah, kalut, bingung dan
takut. Dengan campuran semua itu, aku bertetiak kencang, memekik putus asa,
“Esterna
Ellane Emor” mengerahkan semua tenagaku, memanggil sekaligus berharap dia
kembali.
Gambaran
perang terhapus dari mataku, berganti kilatan-kilatan kuning biru bermain,
tenagaku lenyap. Dan aku…
…
Hentikan!
Aku tidak kuat lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar