Selasa, 10 Februari 2015

Ingatan Terakhir tentang Cahaya

“Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!” suara seorang laki-laki terdengar tidak berdaya di bilik sebelah.
Apa ruginya? Daripada membusuk di sii seumur hidupmu.
Tentu saja cahayaku tidak ingin aku mendekam tanpa usaha apapun. Bahkan berteriak seperti si lelaki tampaknya lebih berdaya daripada aku.  Tapi dia sudah mati.
Pikiranku terantuk pada ingatan yang tidak ingin kuingat lagi. Bagaimana dia mati…


Entah berapa lama Reinmix terus terusan nerocos. Bergaya di depan, di atas punggu Destildow. Kuda hitam itu terus mondar-mandir di depan barisan pasukan berpedang. Aku tidak perlu kata-kata bodoh penebar semangat seperti itu tidak, saat semangatku meledak-ledak menghadapi perang pertamaku.
Tidak ada takut. Tentu saja, aku orang yang pemberani. Meskipun dari tadi detakan jantungku meningkat berkali lipat. Itu karena semangat, bukan hal lain.
“Aku bosan. Bosaaaaaaannn,” keluhku pada Esterna Ellane Emor, kakak perempuanku.
“Tenang, Saer. Aku sendiri juga ingin menyumpal mulutnya,” bisiknya, nyengir.  Tidak sepantasnya dia mengatakan itu, Reinmix mentornya. Mungkin dia mengatakannya demi aku.
Tidak ada ketakutan atau demam apapun dalam raut Ell. Dia tiga tahun lebih tua. Lagi pula pengalamannya menghadapi perang lebih banyak bahkan sebelum usianya mencaai usiaku sekarang. Lulusan terbaik, cantik dan berbakat, siapa yang tidak ingin menjadi sepertinya? Hanya aku, kupikir. Bagiku dia bukan seorang saudari. Dia pengekangku. Dia mencengkram erat tali temali bayangnan yang menjadi penggerakku. Untuk itulah, aku bersyukur menjejakkan kaki bersama Gisda—kudaku, ke dalam medan perang berminggu-minggu lebih awal dari gadis seangkatanku.
Ell tampak begitu menakjubkan di atas Modiv, kuda emas betinanya. Baju pelindung melekat erat di tubuhnya, begitu sesuai. Senjata pasukan berpedang biasa tampak luar biasa terselip di pinggulnya. Rambutnya berombak dibiarkan tergerai. Sebuah tiara penghargaan sebagai pasukan teladan dan terbaik, nangkring, memisahkan wajah dan helaian halus rambutnya. Ya, dia seperti  kukatakan tadi, tidak ada yang menandinginya sebagai si tertangguh dan terbaik dalam pasukan. Ditambah paling muda dan cantik.
Aku iri? Ya, mungkin sedikit. Ell tidak perlu susah susah menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Semua menyukainya, bahkan saat berbohong demi aku sekalipun. Dia banyak berbohong untuk menyembunyikan siapa aku. Dia berbohong dengan mengatas namakan dirinya sendiri. Tidak mudah diterima pada masa-masa awal, tapi aku membiarkannya. Tidak menyenangkan jika orang-prang mengetahui siapa aku di masa-masa ini. Dan Ell mengorbankan dirinya sendiri, seolah bersembunyi dari menjadi apa yang seharusnya kumiliki, kekuatan itu. Rumor-rumor mulai berkembang bahwa Ell memilikinya. Sementara aku, pemilik yang sebenarnya aman dalam bayangan saudariku.
Ell memperhatikan aku sekali lagi, meneliti.
“Massiq-mu perlu dikencangkan lagi,” koreksinya, “Sampai benar-benar merasa tertekan. Begitu saja tidak bisa!”
Aku mengeluh sambil lalu. Tiak hanya tameng kecil dilenganku, semua pakaian rajurit ini memang tidak sesuai, terlalu besar dan berat. Pakaian ini bukan milikku. Belum saatnya aku memiliki pakaian ini dan belum saatnya bagiku untuk memakainya. Bahkan sebenarnya,  aku belum diijinkan masuk ke dalam arena perang. Aku bahkan belum lulus sekolah keprajuritan, apa lagi disahkan sebagai pasukan pembantu.
Mau tahu bagaimana aku bisa masuk kesini?
Awalanya adalah cercaan sekitar tentang betapa menyulitkanya aku bagi Ell, bahwa dia paling berharga diantara seluruh prajurit dan betapa aku membebaninya. Bahwa aku tidak mungkin bisa mengikuti jejaknya dengan usaha keras sekalipun.
Aku memohon-moon di depan Reinmix sebagai ajang pembuktian diri. Merengek-rengek supaya aku diikutkan perang kali ini, dengan penuh percaya diri. Kenapa tidak? Prestasiku tidak jelek-jelek amat, meskipun di bawah Ell, aku memenangkan nilai-nilai (bahkan dengan itupun tidak cukup menutup mulut mereka membandingkan aku dengan saudariku). Imbasnya,  Dreida Reinmix harus menjadi lawanku dalam suatu duel. Tubuhku menerima pukulan bertubi-tubi  dan penghargaan paling tinggi yang bsia kudapatkan adalah membersihkan kandang kudanya tiap hari. Aku tidak keberatan, kuda-kuda adalah temanku.
Imbalannya benar-benar memuaskan Reinmix Shaega mengijinkan aku masuk. Dengan Ell sebagai mentorku pula. Mungkin ada campur tangan darinya hingga aku bisa masuk, tapi bagaimanapun aku tidak risau merasa konyol dengan pakaian seperti ini semnetara Ell sangat amat sempurna.
Sesegera, aku mengencangan sabuk yang mengikat massiq—perisai oval kecil yang menempeli erat tangan kiriku.
Reinmix masih saja nerocos. Dengan mudah kata-katanya masuk keluar tanpa sempat dicerna sama sekali. Aku kenyang menerima ceramahnya dan olokan dari Dreidanya selama seminggu ini.
“Hentikan itu!” Dreida Reinmix ternyata ada di belakangku, mengggertak rendah.  Tanpa sadar aku memainkan pendangku. Mengangkatnya sedikit dengan ibu jari dan membiarkannya tersarung kembali beberapa kali dengan bunyi yang cukup terdengar hingga radius dua sap.
Lihat bahkan dia hanya berani di sap tiga!
“Gugup?” olok Ell.
“Tidak!” jawabku yakin. Kembali memegang kekang Gisda—kuda jantan emas milikku.
Aku mencoba mencari-cari pemandangan di depan. Mengenyahkan pikiran buruk yang perlahan menghantuiku. Tidak akan kubiarkan pikiran itu merasukiku terlalu dalam.
Mustahil melihat kedepan. Pasukan rapat, sejauh mataku melihat adalah punggung pasukan bertombak degan kuda mereka. Barisan rapat, aku tidak bisa mengira kapan musuhku datang.
“Jangan-jangan kau akan lari bahkan sebelum, perang dimulai seperti cewek yang lain?”
“Aku tidak seperti itu, Ell,” sanggahku cepat, tidak mau dia mengataiku cengeng. Ell akan tahu seberapa kuatnya aku.
“Kita lihat saja, nanti.”

Reinmix sudah meghentikan ceramahnya. Kata Ell itu bisa berarti dua hal. Bahwa pasukan sudah terlihat, atau kami yang siap menyerang. Yang manapun itu, menandakan perang bisa dimulai kapan saja.
Suasana sunyi sekaligus tegang. Bau-bau perang segera tercium. Pikiranku kembali di telusupi cemas yang tidak kuinginkan.
“Ell,” kupikir itu suaraku. Ternyata Dreida Reinmix memanggi di belakang, “Semoga ebrhasil.”
Ellena Emor tersenyum sebelum menoleh padaku, lalu melempar senyum lebih hangat dan menenangkan.
Aku mendengus, aku tidak perlu ditenangkan.
Kenapa tiba-tiba kesunyian membawa efek mencekam? Pikiran buruk berhasil masuk lebih dalam.
Mundur saja kalau memang tidak mau. Akan ada banyak kematian. Aku masih belum siap untuk mengahadapinya,” sesuatu dalam kepalaku berbisik.    
Tidak akan, cengeng! Aku berkorban banyak untuk saat ini. Tidak akan ada kesia-siaan.”
Dengan jajaran barisan yang memblokade, aku tidak tahu apa yang tengah terjadi di depan. Apa perang sudah menghantam pasukan tombak di depan? Secepat apa megar mencapai barisan pasukan berpedang?
Tiba-tiba suara komando Wreida Shaega terdengar membahana.
“Bersiap!” itu untuk kami, pasukan berpedang baris kedua. Ell menghunus pedangnya. Suara seretan logam membautku berdesir ngilu. Dengan gagah, Ell mengacungkannya ke depan. Aku  mencabut senjataku belakangan, menjadikan suara logam lemah di antara suara jajaran degupan menanti serangan.  Bisa kurasakan tanganku kebas tiba-tiba dan licin oleh keringat dingin.
“Ell?” gumamku, mencari dukungan. Gambaran-gambran kematian mengusikku. Bagaiaman jika….ah, pergi kau pikiran jahat!
“Mundur?” kata Ellane Emor dengan nada menyepelekan. Maksudnya memompa semangatku, dia selalu melakukannya dan itu bekerja. Tapi kali ini aku butuh ekstra, “Eh, Saer. Mau tahu rahasia menjadi ksatria?”
“Apa itu?” aku bersedia masuk dalam permainaan kata-katanya demi mendapat dukunganku. Ell pasti menyadarinya.
“Apa itu?”
“Maju pertama dan mundur terakhir.”
“Tembak!” Suara membahana Alonulis Waryn memimpin pasukan pemanah. Tidak lebih dari sedetik hujan anak panah melintas, menjadikan bunga-bunga dari ribuan batang tipis kayu dalam lesatan melengkung, membunuh siapa saja yang berdiri bertombak-tombak di depan.
Teriakan Reinmix Shaega terdengar beberapa saat setelah itu.
“Serang!”
Tidak sampai tiga detik aku merasakan desakan mundur. Gisda gelisah mendapat dorongan dari depan. Aku mencoba mempertahankan posisi, mendesak maju. Tepat diatas kepalaku, hujan anak panah kedua terjadi dalam desingan melengkung, lewat dengan ketepatan sempurna.
Dinding yang terpilin dari bersap-sap prajurit di depanku jebol oleh mahluk hijau bergading.

Wow!

Lonjakan siagaku terjadi tiba-tiba. Memompa sebanyak mungkin kesiagaan disetiap ujung syaraf. Ratusan roang diepanku mulai saling bunuh. Suara udara yang robek oleh ayunan senjata. Desingan memenuhi telingaku. Aku tidak seharusnya berada di sini, aku tidak mau di sini.
Padang owuna yang tadinya berpasr gersang sekarang banjir darah hitam bercampur merah pekat. Eragan kesakitan dari tubuh-tubuh terkoyak dan jiwa terenggut. Menulikan telingaku. Pemandangan brutal ada di sekeliling, mataku tidak mempunyai tempat persembunyian bahkan saat menutup mata.
Suara teriakan mantra mulai terdengar beberapa kali.
Mual. Dan pusing. Badanku lemas. Semuanya berputar-putar. Gisdalear terdorong-dorong tanpa kendali.
Tempat mengerikan apa ini?
“Ellane…” aku memanggilnya lirih, membuka sedikit mulutku takut muntah. Aku  mencari-cari. Dia sedang membunuh beberapa megar di sekitar, melindungiku dari begitu banyak serangan.
 “Kau tuli?! Serang! Kerahkan semua kemampaunmu selama pelatihan!” Ell berteriak beberapa langkah dariku. Dia sibuk menyerang dengan gerak cekatan dan gagah berani sementara aku semakin menciut di tepatku.
Keampuanku yang mana? Seolah semuanya sirna dan terlupakan. Semua jerih payahku mendapat nilai terbaik sia-sia. Aku belum pernah ikut dalam perang percobaan sekalipun. Aku belum pernah belajar menghadapi situasi ini.
Seluruh apsukan kocar-kacir sekarang. Barisan tidak serapat saat semuanya berjajar. Seorang megar, wajahnya bersembunyi di balik topeng besi menghampiriku cepat dengan pedang bengkok menghujam ke arahku.
Aku menangkal serangannya. Walaupun hampir saja meleset. Tanganku gemetar hebat. Aku mencoba mencari keteguhanku sendiri, tapi tidak bisa mendapatkannya.
Aku mulai kewalahan. Serangan itu datang membabi buta. Andai saja mulut besarku tidak asal bicara dan menerima kenyataan sampai kapanpun kemampuankku tidak dapat mengungguli Ell.
Beberapa kesempatan menyerang aku sia-siakan.
“Bunuh dia!” perintah Ell mulai jengkel dengan sikap pengecutku. Dia berhasil menumbangkan musuh yang menyerangnya dan menyerangku. Dia tidak pernah meninggalkan salah satu sisiku.
“Ell, aku tidak bisa membunuh,” kataku gemetar. Aku begitu ingin menangis dan menyerah. Tapi itu sama saja dengan bunuh diri.
“Bunuh dia!”
Tidak! Aku tidak boleh menyerah sekarang. Aku harus bertanggung jawab pada omong besarku. Aku akan membuktikan  pada Ellena Emor bahwa aku juga sebaik dia. Terlambat untuk berputar.
“Saerga! Awas!” teriakan membahana. Spontan aku menoleh ke belakang. Ke arah saudariku. Megar lain menikamkan pedangnya ke arahku secepat kilat.
Sunyi selama sedetik. Begitu lama.
Apa yang harus kulakukan? Aku hanya mematung. Tidak tahu. Apa yang harus kulakukan? Ada aura begitu mengerikan di ujung mata perang itu hingga aku hanya mampu menutup mata pasrah berharap yang terbaik akan terjadi.
“Buderin Bulgor Ereknelu!” aku mendengar Dreida Shaega meraung. Jeritan perempuan merobek telingaku. Dan saat itulah aku membuka mata.  Dia berhasil menumbangkan dua megar di dekatku.
Tapi kuda Ell kehilangan penunggangnya.  Aku mencari, menemukan saudariku  tergeletak di tanah. Aku mengenali pedang yang mengincarku tadi, tertancap di perutnya.
Mataku terbelalak, menyadari pandangan pertamaku adalah bagaimana jeritannya membahana dan bagaiman dia perlahan roboh dari pungung kudanya, dan bagaimana dia tumbang.  Aku sadar, El menjadikan dirinya sendiri temeng untukku.
“Ellena Emor!” aku menjerit pilu, melompat seketika, tanpa perhitungan dari punggung Gisda. Kakiku menjerit, tapi aku tidak peduli. Aku mendekati Ell, mengundang kepalanya dengan lembut ke dalam buaianku. Perasaanku tercabik-cabing, sayatan pedang bahkan tidak mampu mengalahan betapa sakitnya aku sekarang. Semangat yang kubangun hancur sia-sia, melihat Ell berdarah-darah sementara Dreida Shaega melindungi kami dari bahaya sekitar.  
Pipiku sudah basah saat pandangannya kembali, menemuiku. Dia masih sadar. Dia masih hidup! Masih ada peluang!
“Rohcheifa!”  aku berteriak pada prajurit penyembuh di sekitar. Siapapun! Dengarkan teriakanku!
Aku menyangga kepala Ell dan membantunya merasa senyaman mungkin.  Dia masih hidup tapi keadaannya benar-benar parah. Mulutnya mengalirkan darah diiringi desahan napas  tidak teratur dan erangan kesakitan  tertahan. Wajahnya pucat. Dia memegangi perutnya yang berdarah-darah masih dengan pedang menancap.
Aku tidak sanggup. Ketakutan melandaku, lebih parah dari masa-masa sebelum perang.
“Ell,” panggilku lirih. Air mataku mengalir deras, “Maafkan aku.”
Itu kata maaf pertama yang terucap olehku. Betapa perasaanku hancur hanya mengucapkannya. Semua yang terjadi adalah akibat dariku dan Ell yang harus menanggung. Aku tidak ingin ini terjadi. Ell-ku yang cantik dan menyebalkn, jauh lebih baik daripada dia yang sekarang tidak berdaya dalam pangkuanku. Aku tidak bisa mempercayai dia sebegini payah.
“Caphinned sur Saerga.”  dia memanggil namaku di sela-sela sengalannya. Tangannya susah payah menjangkau, membelai pipiku, “Tidak apa-apa…”
Apakah aku yang lebih membutuhkan kata-kata itu? Ell terluka dan aku pengecut. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Bingung dan kalut tercampur sempurna dipikiranku. Mata hatiku tertutup.
“Rohcheifer akan segera datang, Ell. Kau akan baik-baik saja,” aku tidak bisa lagi membendung rasa bersalahku.  Tidak tahu kata apa yang bsia kugunakan untuk membuatnya percaya. Kepercayaannya mempengaruhiku juga.
“Omong kosong,” cengiran Ell terbit. Sebuah olok-olok untuk kematian di depan matanya, “Bunuh aku searang, Saerga.”
Ap…apa? Aku tercekat sedetik. Tunggu. Dia tidak benar-benar mengatakannya, kan? Apa maksudnya?
“Bunuh aku, Saerga,” dia mengulang. Berat dan lambat.
“Brengsek kau, Ell. Aku akan menyembuhkanmu. Aku butuh kau untuk melewati sisa dari ini semua.” Cengiran Ell ganti mengolokku. Tidak boleh, kami bisa melewatinya dia akan tetap hidup dan menjadi Ell yang menyebalkan. Aku tidak keberatan. Ganti kekangku dengan rantai besi, aku tidak akan keberatan. Apapun asal ia bersamaku lagi.  “Lihat ini. Lihat ini!” aku memaksanya, menunjukkan benda berkilat kecil muncul serta merta dari salah satu telapak tanganku.  Ell tersenyum. Membuat urat hatku diremas dengan sarung tangan duri. Tentu saja Ell pernah melihat petir itu menyambar dari tanganku. Untuk alasan itulah dia melindungiku, menjadikan dirinya selalu dalam sandiwara seolah dialah yang memilikinya. Diam-diam menyerret kepercayaan orang-orang dariku, bahwa aku gadis biasa. Bahwa aku tidak punya peluang untuk dikorbankan mati.  
“Aku tahu siapa kau, Saer,” mungkin baginya kilatan tanganku adalah sebuah ironi. Dia ingin menarik kecurigaan orang-orang pada dirinya tentang benda ini, meskipun tidak ada satu saksi matapun menyaksikan dia benar-benar mengeluarkan listrik. Tapi aku pernah, dia tahu aku bisa.
“Tidak. Kau tidak tahu siapa aku. Kau berpura-pura,” aku menyangkal semua perkataan yang mengarahkan saudariku pada kematiannya.
“Aku pasti mati, Saer… aku tidak mau mati di tangan megar…” suaranya mulai terutus-putus. Aku mulai sadar, tidak ada yang bisa kulakukan, “…lebih baik jika itu tanganmu.”
“Tidak akan!” aku menepis tangannya yang turun dari pipi ke lenganku. “Sendor Timmick tidak ingin kehillangan prajurit terkuat sepertimu,” aku mengerahkan kata-kata apapun. Jiwa prajurit Ell mugkin akan terketuk jika aku mengatakannya.
Tapi sia-sia. Aku tahu dia tidak akan selamat melewati ini. Tangannya kembali menggenggam pergelangan tanganku. Tangan kirinya bersarung kulit naga. Listrik tidak akan berpengaruh.
“Omong kosong. Tidak ada mantra Esterna Ellane Emor yang lebih kuat dari pada mantra Caphinned  sur Saerga.” Entah atas dasar kejadian mengerikan macam apa ibu kami menamai kami berdua dengan nama mantra milik Jeaswind Gra. Mungkin karena dia tahu salah satu diantara kami adalah dia. Salah satu diantara kami—apakah ibu juga bimbang menentukan siapa yang memiliki kekuatan itu diantara kami berdua?
Aku menangis sejadi-jadinya. Atas kesadaranku sekaligus pada permintaan terkahir Ell. Apa dia ingin aku menaggung rasa bersalah seumur hidupku atas bayarannya telah mengorbankan dirinya sendiri semasa hidup demi menutupi aku? Sejahat itukah dia? Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri. Aku ingin dia bertahan jika memang dia menyayangiku seperti apa yang selalu dikatakannya.
“Ell…” kataku lirih.
“Tidak apa Saer… jangan salahkan dirimu sendiri…” dia seolah membaca pikiranku, “Ini jalan yang kupilih… dan kau…tetaplah bersembunyi…” Ell tersenyum, penuh kemenangan, dia menarik tanganku masih berpendar oleh aliran listrik mematikan ke urat nadi di lehernya.
“Ell… tidak,” tidak ada jeritan. Seluruh organku seolah luruh, aku tidak mampu untuk berteriak, “Jangan lakukan itu, “ aku berusaha menarik tanganku, tapi tidak kuasa. Sisi lain inilah jalan yang dipilih Ell termasuk permintaan terakhirnya. Dia tidak ingin mati di tangan megar, tapi aku tidak ingin dia mati di tanganku.
Sialan kau, Ell!
Dengan gerakan pasti yagn tdak ingin kusaksikan, Ell menempelkan telapak tanganku ke lehernya. “Tidak, Ell.”
Tapi tidak ada protes lagi. Terlambat. Cahaya di tanganku padam dan Esterna Ellane Emor sudah menutup matanya. Raganya tertinggal bersamaku  tanpa rasa sakit sama sekali. Securit senyum kemenangan yang menyayat hati terlukis indah di wajahnya. Betapa damai dan memesonanya dia. Mati kerena perjuangannya melindungiku, seumur hidupnya. Karena janjinya pada ibu sebelum Waryn membawaku. Dia tidak lagi memikul semua, dia bebas.
Kesadaran itu tidak berpengaruh apapun pada amarahku. Aku marah, kalut, bingung dan takut. Dengan campuran semua itu, aku bertetiak kencang, memekik putus asa,
“Esterna Ellane Emor” mengerahkan semua tenagaku, memanggil sekaligus berharap dia kembali.
Gambaran perang terhapus dari mataku, berganti kilatan-kilatan kuning biru bermain, tenagaku lenyap. Dan aku…


Hentikan! Aku tidak kuat lagi.



Senin, 09 Juni 2014

Ingatan Pemberontakan dan Mimpi Pertama



Ada rengekan terdengar dari sel sebelah. Mungkin dari seorang wanita tahanan baru saja masuk.  Kesalahan apa yang membuatnya terperangkap dalam gua ini? Rengekkan berubah jadi lolongan keras. Aku tidak bisa melihat ke sel sebelah.
“Diam!” sipir berteriak , "Tidak akan ada yang datang untukmu, pencuri.”
Hmm, seseorang pasti datang untuk seseorang, aku percaya itu, jika Ell, cahayaku, masih ada untuk melakukannya.  Dia tidak akan membiarkan jiwaku membusuk di sini.
Yah, aku ingat pertolongannya yang paling tidak bisa kubalas sebelas tahun lalu.
“Lihat, apakah ada yang datang untukmu,” suara memuakkan serak megar dulu begitu menakutkan. Betapa dengan mudahnya seluruh tubuhku gemetar dalam cengkraman lengan-lengan kokoh dengan napas bau bangkai berhembus di ubun-ubun  kepalaku. Seharusnya aku mendengarkan kata hati kecilku untuk tidak menantang diriku sedemikian keras.
 Kuris menertawakan aku pagi ini di sekolah karena prestasi yang ku buat tidak pernah mendahului Ell dalam hal apapun. Kuputuskan untuk menantangnya. Apa yang salah? Dia mengejekku di depan seluruh siswa. Kutantang dia untuk melakukan perjalanan. Siapa yang mampu bertahan paling jauh berjalan kaki di luar tembok Sendor Timmick, dia akan dikawal yang kalah dalam sehari, termasuk menyodorkan punggung untuk pijakan dalam mencari buku. Kami sama-sama setuju. Diam-diam sebelum jam pelajaran terakhir di mulai, aku mengendap keluar bersama Kuris. Wajahnya sudah pucat sebelum pintu gerbang terlewati.
Walaupun Kuris lebih tua satu tahun dariku, nyalinya lemah. Dia berlari mendapati seorang megar tampak dari jauh, sementara aku dengan penuh kesombongan mengabaikan kata hati kecilku untuk berlari, berjalan semakin jauh.
Dan sekarang, di sinilah aku. Menganggap sepele seorang megar membuatku tertangkap dengan megar yang sama. Memalukan. Tidak dulu itu terdengar mengerikan.
Hanya dengan satu tangan dia berhasil mengunci seluruh gerakanku. Satu tangan lain mencengkram  bilah pedang tebal dan bengkok. Ujung matanya mengkilat setengah tertanam dalam tanah.  Aku tidak ragu ketika itu, mautku datang saat benda berkilat itu terangkat.
Ketakutanku terpantul sempurna dalam besi hitam sebagai sorot gadis berusia sepuluh tahun. Aku mengira tentang kematian. Berapa detik kesakitan amat sangat yang kurasakan sebelum melupakan segalanya?
Lalu ke perbuatan-perbuatan yang belum sempat kulakukan. Aku belum sempat pulang. Sejak keberangkatan pertamaku. Ya, aku tahu itu melanggar janjiku pada ibu. Tapi Ell tidak pernah membawaku ke rumah entah semenggelegar apa rengekkanku. Bagaimana jika orang rumah kembali menemuiku sebagai sosok terbujur kaku?
Lalu tentang Ell, saudari perempuanku.Esterna Ellane Emor. Aku sayang dia. Amat sangat, betapapun aku menahan untuk tidak menunjukkan itu. Bahkan dalam setiap tetesan air mataku, aku berjanji tidak akan melanggar peraturan-peraturan ketat buatannya lagi.  Dalam setiap detak ketakutan, benakku meneriakkan namanya. Aku percaya dia akan datang.
“Atau jika tidak seorangpun datang, dagingmu tetap menjadi daging empuk yang lezat,” aku tersentak oleh pemikiran dari ketakutanku sendiri. Suara tegukan terdengar kemudian, aku sadar, itu isakanku. Tubuh kecilku memberontak. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Hanya menggeliat dalam cengkraman. Makin lama makin erat.
“Diam!” inginnya aku pingsan begitu mendengar suara menggelegar menakutkan.
Jika itu terjadi sekarang—bertahun-tahun setelahnya, aku tidak perlu sekalut itu. Megar ini sendirian. Tindakan nekat untuk kaumnya memijakkan kaki kurang dari satu kilo dari tembok Sendor Timmick. Aku juga tidak mengerti kenapa dia tidak begitu saja membunuhku jika dia kelaparan. Alasan yang tidak pernah di ceritakan Ell sampai kapanpun dan aku sudah kehilangan selera untuk mengingatnya lagi sampai saat ini.

Kenyataan saat itu tangisanku terhenti oleh teror yang tidak mungkin lagi dapat kuutarakan. Seolah jantungku berhenti. Aku membatu. Hanya pandanganku yang mampu bergerak. Satu-satunya pemandangan adalah kilatan pedang bagaimana dia mendekat ke arahku.
Bayang-bayangku berganti sudut. Aku menatap sepasang mata hitam ketakutan balas menatap saat bilah pedang tepat di bawah dagu. Aku tidak merasakan sisi tajamnya mencekik, tapi percaya jika itu terjadi, bisa jadi Ell akan menemuiku dalam potongan kepala terpisah. Aku mendorong punggungku ke belakang. Berusaha sejauh mungkin dari mata pedang, tapi tidak berhasil mendapat kesan aman apapun.
“Seseorang mendekat,” suara serak itu kembali memenuhi telingaku. Aku tidak memandang apapun sampai teriakan dari suara yang kukenal sejernih cahaya dan kegelapan pekat.
“Saerga!” tatapanku lurus tersentak. Aku menemukan Ellena. Cahayaku, berlari dari lembah di bawah, melewati terusan hutan. Masih berupa garis meliuk-liuk melewati batang pohon.
“Ell!” aku berteriak sekuat tenaga. Jepitan tangan mengepungku mulai menyakitkan. Air mataku kembali deras.
Harapanku, Ell, aku percaya dia harapanku.
“Saerga!” jerit Ell memantul dari dahan ke dahan, memacuku untuk segera bebas dari cengkraman. Aku semakin memberontak , "Lepaskan dia! Lepaskan adikku!”
Ada sosok lain bergerak jauh lebih cepat dari Ell, menyeruak , menubruk tubuh kakakku dari belakang. Lajunya berhenti.
Serangan?
Bukan. Itu Reinmix Dreida.
“Jangan gegabah,” teriak Dreida Shaega. Ell meronta dalam dekapannya. Dia masih menyebut- namaku. Aku semakin ketakutan. Penolongku, satu-satunya orang yang kuinginkan terhenti di sana, di tengah-tengah jarak.
“Ellena!” aku meraung, berharap dia melakukan apapun. Menyikut menendang, meninju, apapun supaya dia bebas menjemputku. Tubuhku menggeliat kuat. Beda berkilat dingin di dagu memberi rasa sama di leher.  Dingin dan perih.
“Diam! Lihat akibatnya!” suara serak kembali berdenging. Kilatan di bawah daguku ternoda oleh bercak-bercak merah kental.
Ell semaki menjauh. Dia mengkhianatiku dalam pelukan Dreida Shaega. Tidakkah dia melihatku sedemikian takut dan tersiksa. Tidakkan dia melihat darah mengalir dari leherku? Lupakah janjinya pada ibu?
Aku berhenti meronta. Tinggal menangis sesegukan, melihat Ell hilang seiring menurunnya lembah dan lebatnya pepohonan.
“Dia tidak peduli, bukan begitu,” suara seram  itu diiringi kekehan, membuat bau busuk dari mulutnya mencemari udara di sekitar. Berapa banyak anak-anak yang dia makan? Aku mengerti ini pilihannya. Aku bersiap mati.
Untuk terakhir kalinya, sebagai upaya pengahabisan, aku berteriak , "Ellena! Tolong aku!”
Jika aku percaya sihir saat itu, aku akan mengaggap kata-kataku begitu berpengaruh.
Sosok Ell benar-benar muncul kembali, sendirian. Berlari lebih cepat dengan pedang terhunus siaga. Apapun pemberontakan yang dia lakukan, dia berhasil bebas dari Dreida Shaega dan berlari menghampiriku. Tidak akan ada yang dapat menyusulnya setelah ini.
“Ah”, suara mengerikan megar, "aku tidak suka kesempatan kedua. Membosankan, eh? Dagingmu akan terlalu keras jika aku membiarkanmu tegang terlalu lama.”
Kengerian teror tidak pernah menyiramkan begitu banyak air kutub seperti yang dilakukan kala itu. Seluruh syarafku  meronta. Otot-ototku tegang bersamaan. Aku tidak mau mati.
Dengan ketakutan amat sangat, kukerahkan semua kekuatanku untuk berteriak untuk memanggilnya,
“Esterna Ellane Emor!”
Ledakan cahaya.
Tubuhku kehilangan penopang.
Dan gelap.


Lucu, aku tertawa, mengabaikan raungan minta belas kasih dari wanita di sebelah, kembali melihat ke lubang—satu-satunya cahaya dalam selku.
Lucu, aku menganggap segalanya berakhir ketika itu.

“Belum waktunya berhenti,” suara lembut seorang wanita. Lembut dan kuat. Bukan dari siapapun yang pernah kudengar.
Mataku terbuka. Langsung disergap ledakan warna biru menghampar luas diselingi awan-awan. Wajah seorang wanita lembut dan kuat sama seperti suaranya. Dia tersenyum. Warna hijau matanya sama seperti hamparan rerumputan mengepung lembah yang menopang lembut tubuhku. Rambut tembaga berombak tergerai dipermainkan angin yang tidak dapat kurasakan.
“Siapa kau?" tanyaku. Tangan-tangannya terulur, membantuku bangkit. Aku baik-baik saja. Setelah berpikir mati. Atau memang seperti inikah kematian?
Pandanganku perlahan menegak. Ada satu perempuan lain dengan ciri sama, begitu mungil di dekat kakiku. Wajah mereka hampir serupa.
Mereka tidak sendirian. Ada dua orang pria  di lembah bawah. Empat orang. Pandangan mereka sama, ke arahku.
“Aku Ermael Mouneliar,” suara lembut itu datang dari sosok yang membantuku bangkit. Hanya suara, mulutnya tertutup rapat. Aku yakin suara itu bersumber darinya bagaimanapun caranya.
“Itu Unem,” dia lalu menunjuk si perempuan mungil tersenyum di dekat kakiku, "Itu Duterte dan Belayer.” Pandangannya beralih ke dua laki-laki. Mereka mengangguk dan tersenyum.
“Kami  Jeaswind Gra,” kata Unem , "Meskipun namanya belum ada saat eraku.  Kami Jeaswind. Sama sepertimu.”

Itu mimpi pertamaku, yang membawa mimpi-mimpi lain di setiap tidurku pada kenyataan hidup generasi-generasi Jeaswind Gra dan generasi-generasi pemimpin lain yang riwayat heroiknya telah dilupakan.
Mimpi pertama yang menjadi tanda tanya besar tentang aku.



Aku sadar ketika sinar matahari senja memantul di atap rumah terhalang mendung, terlihat dari samping jendelaku. Untuk sesaat sama seperti bangun dari tidur-tidur biasanya. Hanya sepertinya mimpiku barusan, yang tidak kuingat, begitu tidak memihak.
Lalu aku bangkit. Leherku terbelit kaku dan nyeri di tulangnya mengembalikan setiap detik kejadian yang telah kulewati.
Tidak sempat terpuruk untuk kedua kalinya, suara isakan terdengar dari luar.
“Harusnya aku tidak melakukan itu,” itu suara Ell. Kenapa dia menangis? Suara sesegukan mengharuskan telingaku bekerja super keras. Ada seorang lain bersamanya. Dia hanya berdehem. Cukup bagiku megetahui Ell bersama seorang laki-laki.
Apa yang tidak seharusnya dia lakukan? Menyelamatkan aku? Apa yang membuatnya menangis? Setelah kupikir dia menguatirkan aku, dia tidak kuatir tentang apapun yang terjadi padaku.
“Saerga, aku tidak bisa membiarkannya, Reinmix.”
Ah, pasti Dreida Shaega ada di luar. Desas-desus di antara teman-teman sebayaku, ada hubungan spesial antara kakak perempuanku dengan penguasa api itu. Ell tidak berkomentar apapun, tapi Shaega memberi perhatian khusus padanya.
Aku tidak mau tahu.
“Anak kurang ajar itu…” desisan Dreida Shaega membuat telingaku berdenging.
Anak kurang ajar itu di sebut “aku”. Dan aku mendengar setiap kata-katanya
Kalimat itu menjadi awal ikut campur Dreida Shaega  sebagai salah satu pengendaliku. Dia tidak mau Ell kena masalah lagi. Apapun akan dilakukan Dreida Shaega meskipun itu berarti mengikatku di tonggak untuk menghentikan gerakanku.
“Berjanjilah untuk melindunginya,” kata Ell. Itu katalisatornya. Membuat dentaman-dentaman dalam rongga dadaku semakin keras.
Aku tidak perlu dilindungi siapapun!
Jeda lama. Memberiku waktu tenang sebelum kembali mendengarkan.
“Aku berjanji,” suara Shaega perlahan lenyap dalam kehampaan. Aku tidak perlu janjinya! Dan Ell tidak perlu mengemis untuk janji itu. Siapapun bagian dari keluargaku tidak boleh mengemis untuk meminta pertolongan!
“Seharusnya tidak kutembakkan petir itu,” suara Ell bertambah dengan penyesalan, “Akulah Jeaswind Gra dan aku sangat ketakutan, Reinmix.”
Petir khayalan menyambar. Bukan karena Ell mengatakan bahwa dirinya seorang Jeaswind. Bukan pula tentang resiko yang ditanggungnya ketika mengatakan itu.
Tapi masalahku adalah, akulah dia. Akulah Jeaswind. Akulah yang menembakkan petir saat energi tidak sengaja terlepas  ketika aku meneriakkan namanya (yang kuketahui sekarang sebagai mantra penyembur petir). Dan megar di belakangku mati karena itu.
Logisnya, jika Ell yang menembak, kenapa aku tidak terkena efek tembakan dan mati. Petir jauh lebih mematikan, bukan! Deida Shaega harusnya tahu. Ell harusnya tahu ada lubang cukup besar dalam kebohongannya.
Keyakinanku kuat. Ketika para Jeaswind itu menemuiku dalam mimpi, menceritakan diri mereka dan siapa Jeaswind sebenarnya sebagai pemahaman visual dalam bayanganku. Dan siapa aku. Mereka menyebut, akulah Jeaswind Gra. Bukan Ell.
“Hanya aku yang tahu Esterna,” benarkah? Apa Dreida bodoh itu tahu siapa yang sebenarnya menyembur petir? Aku sangsi , "Aku berjanji untuk melindungimu dan rahasiamu.”
Lepas dari bagaimana tentangan kehadiran Jeaswind di eraku. Aku tidak bisa membiarkan Ell menaggung hal itu dengan berpura-pura. Aku juga tidak mau kebenaran tentangku di sangkal. Betapapun resikonya. Akulah Jeaswind Gra. Akulah dia.
Sedu sedan Ell belum berhenti. Untuk pertama kalinya, aku marah. Dia tidak perlu melindungiku dengan menutup-nutupi seperti itu, ini bukan aib tapi kekuatan. Dia tidak perlu bohong. Dia tidak perlu menyangkal siapa aku.
Petir pertama menyambar dekat jendela. , menggetarkan kayu pembingkai. Hujan belum turun.
Aku melompat leluar lewat sana. Atas desakan-desakan tekanan dari arti suara isakan Ell. Menungggang Gisdalear ke belakang kota.


“Gra!” aku berteriak. Kesekian kalinya setelah yang pertama aku mencoba. Petir selalu berhasil keluar.
Mantra pertama.  Para pemimpin pernah melakukannya. Mengacungkan telapak tangan lurus dan meneriakkan nama gelar masing-masing.  Tanah bergetar, api dan air tersembur, angin mengamuk, sesuatu pasti akan terjadi.
Pembuktian lain. Aku bisa menyambarkan petir dan Ell tidak bisa menyanggahnya.
“Kakakmu tidak akan suka kau keluyuran saat badanmu masih lemah,” suara lembut Waryn menghentikan lamunanku pada petir.
Ketakutanku saat itu justru ada padanya. Apa dia tahu aku melakukan jurus? Semoga jeda cukup lama sebelum kedatangannya cukup membiarkan Waryn tidak tahu apa-apa.
Aku tidak berhak melarangnya tutup mulut seperti yang dilakukan Ell pada Dreida Shaega, jika Waryn tahu. Justru dialah yang berhak memenjarakan aku.
“Rumahku pengap, Alonulis,” jawabku sopan. Membiarkan rasa sakit mencengkram leher demi kesopanan. Perban mencengkram erat, aku tidak perlu khawatir darah menyembur lagi.
Aku mengamatinya duduk, tenang di rerumputan di sampingku. Tidak ada raut apapun yang menggambarkan dia ingin membunuhku dengan jurus atau apa. Syukurlah, dia tidak tahu. Syukurlah petirku kilat berlalu.
“Alonulis, siapa itu Ermael Mouneliar?” tanyaku, begitu bodoh pada tingkat kedewasaanku sekarang. Tapi tidak saat itu. Emosi kanak-kanakku lebih mendominasi.
Ekspresi kekagetan Alonulis Waryn hanya berupa sebelah alis terangkat. Senyum hangat tidak pernah menginggalkan wajahnya.  Kemudian berdehem ringan sebelum menjawab, “Kau mengerti betapa di tentangnya Jeaswind, sayangku.”
Aku mengangguk. Tentu saja. Bagaimana tidak jika tiap hari dalam pembelajaranku selalu diawali dengan ideologi itu.
Tidak boleh lagi ada Jeaswind Gra. Kelahirannya itu berarti pertanda bahwa Avoi butuh di sembuhkan. Avoi perlu pergantian era. Dan sekarang ini, tidak ada satupun yang menginginkan perubahan kecuali megar, itulah perseteruan yang terjadi  sekarang. Kehidupan di rasa baik-baik saja tanpa adanya perubahan. Jika Jeaswind lahir dia akan di bunuh, di bakar agar tidak satupun sisa darinya dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.
Aku tidak takut. Jika memang itu yang terjadi, harusnya orang-orang ini yang takut padaku.
“Tentu Alonulis,” jawabku.
“Tapi beberapa orang menginginkan perubahan tertentu. Krisis moral di dunia ini perlu diganti dengan era yang lebih baik.”
Tidak seharusnya dia mengatakan itu, kata pikiranku sekarang. Dia ada di pihak penentang. Dia bisa saja mengobarkan perang  sebagai pihak ketiga. Umur sepuluh  membatasi analisisku saat itu.
“Aku tidak mengerti.”
“Suatu saat, Caphinned. Hukum membelengguku dalam kata-kata. Jika kau ingin tahu lebih banyak, kau bisa masuk ke perpustakaanku. Kapanpun dan apapun yang ingin kau baca. Selama situasi aman. Kau tahu, tidak seorangpun dapat masuk kecuali pemimpin.”

Ya, aku tahu bahkan para pemimpin menyia-nyiakan kesempatan ini. Kecuali Waryn dan Dreidanya—sahabatku.


Kunjungan pertamaku ke sana merupakan awal bagiku menyusun kata dan riset. Tentang siapa sebenarya Jeaswind Gra. Tidak ada yang boleh menentangnya setelah buku ini jadi, kataku dalam hati.
Tapi sekarang, lihatlah, betapa jiwaku membusuk dalam bilik batu sempit tanpa cahaya sebelum keta-kataku tercerah sempurrna.


“Dari mana saja kau?!” teriakan Ell terdengar begitu pintu di tutup. Wajah sembabnya masih tersisa. Sosok Dreida Shaega tidak ada di dalam rumah. Untunglah.
“Bukan urursanmu,” kataku, melangkah , berharap mengenyahkan wajah Ell sekarang juga.
“Itu urusanku,” tangan Ell menyentak. Menggenggam pundakku. Cengkramannya kuat. Dia geram ,”Lihat. Apa lagi kalau demammu kambuh seperti ini,” telapak tangannya berpindah, menggerayangi kepalaku.
Aku menepisnya.
“Hentikan,” gertakku,”Berhenti peduli padaku! Berhenti melindungiku! Dan berhenti berbohong  tentangku!”
Kalimat terakhir ampuh membuat Ell mematung.
“Apa maksudmu?”
Sumbuku telah dinyalakan. Aku siap meledak.
“Akulah dia. Bukan kau seperti apa yang kau katakan pada Dreida Shaega kekasihmu itu!”
“Darimana kau tahu?” pandangan bingung memenuhi mata Ell ,”Kau pingsan tadi.”
“Ermael Mouneliar memberi tahuku. Akulah Jeaswind Gra!” aku meraung. Ell tidak boleh tidak mengerti dengan penjelasan sejelas itu. Aku lega telah mengatakannya.
Petir menyambar di belakang rumah. Memberi kebisuan selama beberapa detik.
“Jangan coba-coba katakan pada siapapun, Saer,” sekarang Ell ketakutan, matanya mentapku ngeri. Kenapa? Dia takut telah berbohong pada Dreida Shaega atau dia takut jika aku tertangkap dan mati?
Aku tidak memberi janji apapun. Pegangan Ell melemah, ini kesempatanku menghindar.
“Aku mau pulang,” kataku melangkah ke kamar.
“Apa?” kesadaran membawa Ell kembali.
“Pulang. Jika memang tidak ada yang mengingiinkanku di sini.”
“Tunggu, Saer! Tunggu ,” sekali lagi Ell coba menghentikan dengan menggamit bahuku. Dengan tenaga yang dimilikinya sebagai prajurit terbaik di sekolah keprajuritan, dia membalik tubuhku.
Tumpukan baju-baju di tanganku bertebaran kemana-mana.
“Saer, kau tidak bisa.”
“Aku bisa. Aku kuat sekarang. Mau bukti,” kataku sinis. Aku memberontak tapi cengkraman Ell kuat. Aku tidak sampai hati melukainya.
“Kau tidak bisa, Saerga,” tangis Ell terbit lagi. Aku tidak menyangka  Ellena yang berdiri sekokoh bongkahan batu pinggir sungai menghujankan air mata seharian ini. Kalau saja temperamenku saat itu tidak menutupi simpatiku pada air mata Ell,”Desa hancur.”
“Bohong,” kataku seketika. Pertama kali untuk perseteruan ini, percaya Ellena tidak mengatakan yang sebenarnya.
“Kau pikir kenapa kau di pindah kemari?” Ell meraung. Amarahnya meledak, ”Sebuah serangan meluluh lantakkannya. Alonulis membawamu kemari untuk menyelamatkamu sebelum itu terjadi.”
Setelah bertubi-tubi ledakan, aku mematung. Seolah kemarahanku terserap lewat pertemuan bahuku dan telapak tangannya. Ell ganti meledak.
“Desa hancur, Saer. Mengertilah. Mereka sudah tidak ada!”
Tangan Ell lemas setelah meluapkan emosinya. Berdiriku tanpa sanggaan. Aku berputar, ambruk, duduk di tepi dipan.
Diam.
Sementara isakan Ellena terdengar keras, membasahi rokku pula.
Tidak! Untuk kedua kalinya dalam sehari, Esterna Ellane Emor berbohong padaku.


Sampai sekarangpun aku tidak tahu bagaimana nasib orang-orang desa. Bagaimana keluargaku. Akankah penguburan mereka dilakukan dengan layak?
Sialnya, kesedihan melodramatis semacam ini selalu menerpaku tiap kali memikirkannya. Aku berharap bisa pulang, alih-alih bilik batu sempit tanpa celah berarti.