Ada
rengekan terdengar dari sel sebelah. Mungkin dari seorang wanita tahanan baru
saja masuk. Kesalahan apa yang membuatnya
terperangkap dalam gua ini? Rengekkan berubah jadi lolongan keras. Aku tidak
bisa melihat ke sel sebelah.
“Diam!”
sipir berteriak , "Tidak akan ada yang datang untukmu, pencuri.”
Hmm,
seseorang pasti datang untuk seseorang, aku percaya itu, jika Ell, cahayaku,
masih ada untuk melakukannya. Dia tidak
akan membiarkan jiwaku membusuk di sini.
Yah, aku
ingat pertolongannya yang paling tidak bisa kubalas sebelas tahun lalu.
…
“Lihat,
apakah ada yang datang untukmu,” suara memuakkan serak megar dulu begitu
menakutkan. Betapa dengan mudahnya seluruh tubuhku gemetar dalam cengkraman
lengan-lengan kokoh dengan napas bau bangkai berhembus di ubun-ubun kepalaku. Seharusnya aku mendengarkan kata
hati kecilku untuk tidak menantang diriku sedemikian keras.
Kuris menertawakan aku pagi ini di sekolah
karena prestasi yang ku buat tidak pernah mendahului Ell dalam hal apapun.
Kuputuskan untuk menantangnya. Apa yang salah? Dia mengejekku di depan seluruh
siswa. Kutantang dia untuk melakukan perjalanan. Siapa yang mampu bertahan
paling jauh berjalan kaki di luar tembok Sendor Timmick, dia akan dikawal yang
kalah dalam sehari, termasuk menyodorkan punggung untuk pijakan dalam mencari
buku. Kami sama-sama setuju. Diam-diam sebelum jam pelajaran terakhir di mulai,
aku mengendap keluar bersama Kuris. Wajahnya sudah pucat sebelum pintu gerbang
terlewati.
Walaupun
Kuris lebih tua satu tahun dariku, nyalinya lemah. Dia berlari mendapati
seorang megar tampak dari jauh, sementara aku dengan penuh kesombongan mengabaikan
kata hati kecilku untuk berlari, berjalan semakin jauh.
Dan
sekarang, di sinilah aku. Menganggap sepele seorang megar membuatku tertangkap
dengan megar yang sama. Memalukan. Tidak dulu itu terdengar mengerikan.
Hanya dengan
satu tangan dia berhasil mengunci seluruh gerakanku. Satu tangan lain
mencengkram bilah pedang tebal dan
bengkok. Ujung matanya mengkilat setengah tertanam dalam tanah. Aku tidak ragu ketika itu, mautku datang saat
benda berkilat itu terangkat.
Ketakutanku
terpantul sempurna dalam besi hitam sebagai sorot gadis berusia sepuluh tahun.
Aku mengira tentang kematian. Berapa detik kesakitan amat sangat yang kurasakan
sebelum melupakan segalanya?
Lalu ke
perbuatan-perbuatan yang belum sempat kulakukan. Aku belum sempat pulang. Sejak
keberangkatan pertamaku. Ya, aku tahu itu melanggar janjiku pada ibu. Tapi Ell
tidak pernah membawaku ke rumah entah semenggelegar apa rengekkanku. Bagaimana
jika orang rumah kembali menemuiku sebagai sosok terbujur kaku?
Lalu
tentang Ell, saudari perempuanku.Esterna Ellane Emor. Aku sayang dia. Amat
sangat, betapapun aku menahan untuk tidak menunjukkan itu. Bahkan dalam setiap
tetesan air mataku, aku berjanji tidak akan melanggar peraturan-peraturan ketat
buatannya lagi. Dalam setiap detak
ketakutan, benakku meneriakkan namanya. Aku percaya dia akan datang.
“Atau jika
tidak seorangpun datang, dagingmu tetap menjadi daging empuk yang lezat,” aku
tersentak oleh pemikiran dari ketakutanku sendiri. Suara tegukan terdengar
kemudian, aku sadar, itu isakanku. Tubuh kecilku memberontak. Tidak banyak yang
bisa dilakukan. Hanya menggeliat dalam cengkraman. Makin lama makin erat.
“Diam!”
inginnya aku pingsan begitu mendengar suara menggelegar menakutkan.
Jika itu
terjadi sekarang—bertahun-tahun setelahnya, aku tidak perlu sekalut itu. Megar
ini sendirian. Tindakan nekat untuk kaumnya memijakkan kaki kurang dari satu
kilo dari tembok Sendor Timmick. Aku juga tidak mengerti kenapa dia tidak
begitu saja membunuhku jika dia kelaparan. Alasan yang tidak pernah di ceritakan
Ell sampai kapanpun dan aku sudah kehilangan selera untuk mengingatnya lagi
sampai saat ini.
Kenyataan
saat itu tangisanku terhenti oleh teror yang tidak mungkin lagi dapat kuutarakan.
Seolah jantungku berhenti. Aku membatu. Hanya pandanganku yang mampu bergerak.
Satu-satunya pemandangan adalah kilatan pedang bagaimana dia mendekat ke
arahku.
Bayang-bayangku
berganti sudut. Aku menatap sepasang mata hitam ketakutan balas menatap saat
bilah pedang tepat di bawah dagu. Aku tidak merasakan sisi tajamnya mencekik,
tapi percaya jika itu terjadi, bisa jadi Ell akan menemuiku dalam potongan
kepala terpisah. Aku mendorong punggungku ke belakang. Berusaha sejauh mungkin
dari mata pedang, tapi tidak berhasil mendapat kesan aman apapun.
“Seseorang
mendekat,” suara serak itu kembali memenuhi telingaku. Aku tidak memandang
apapun sampai teriakan dari suara yang kukenal sejernih cahaya dan kegelapan
pekat.
“Saerga!”
tatapanku lurus tersentak. Aku menemukan Ellena. Cahayaku, berlari dari lembah
di bawah, melewati terusan hutan. Masih berupa garis meliuk-liuk melewati
batang pohon.
“Ell!” aku
berteriak sekuat tenaga. Jepitan tangan mengepungku mulai menyakitkan. Air
mataku kembali deras.
Harapanku,
Ell, aku percaya dia harapanku.
“Saerga!”
jerit Ell memantul dari dahan ke dahan, memacuku untuk segera bebas dari
cengkraman. Aku semakin memberontak , "Lepaskan dia! Lepaskan adikku!”
Ada sosok
lain bergerak jauh lebih cepat dari Ell, menyeruak , menubruk tubuh kakakku
dari belakang. Lajunya berhenti.
Serangan?
Bukan. Itu
Reinmix Dreida.
“Jangan
gegabah,” teriak Dreida Shaega. Ell meronta dalam dekapannya. Dia masih menyebut-
namaku. Aku semakin ketakutan. Penolongku, satu-satunya orang yang kuinginkan
terhenti di sana, di tengah-tengah jarak.
“Ellena!”
aku meraung, berharap dia melakukan apapun. Menyikut menendang, meninju, apapun
supaya dia bebas menjemputku. Tubuhku menggeliat kuat. Beda berkilat dingin di
dagu memberi rasa sama di leher. Dingin
dan perih.
“Diam!
Lihat akibatnya!” suara serak kembali berdenging. Kilatan di bawah daguku
ternoda oleh bercak-bercak merah kental.
Ell semaki
menjauh. Dia mengkhianatiku dalam pelukan Dreida Shaega. Tidakkah dia melihatku
sedemikian takut dan tersiksa. Tidakkan dia melihat darah mengalir dari
leherku? Lupakah janjinya pada ibu?
Aku
berhenti meronta. Tinggal menangis sesegukan, melihat Ell hilang seiring
menurunnya lembah dan lebatnya pepohonan.
“Dia tidak
peduli, bukan begitu,” suara seram itu
diiringi kekehan, membuat bau busuk dari mulutnya mencemari udara di sekitar.
Berapa banyak anak-anak yang dia makan? Aku mengerti ini pilihannya. Aku
bersiap mati.
Untuk
terakhir kalinya, sebagai upaya pengahabisan, aku berteriak , "Ellena! Tolong
aku!”
Jika aku
percaya sihir saat itu, aku akan mengaggap kata-kataku begitu berpengaruh.
Sosok Ell
benar-benar muncul kembali, sendirian. Berlari lebih cepat dengan pedang
terhunus siaga. Apapun pemberontakan yang dia lakukan, dia berhasil bebas dari
Dreida Shaega dan berlari menghampiriku. Tidak akan ada yang dapat menyusulnya
setelah ini.
“Ah”, suara
mengerikan megar, "aku tidak suka kesempatan kedua. Membosankan, eh? Dagingmu
akan terlalu keras jika aku membiarkanmu tegang terlalu lama.”
Kengerian
teror tidak pernah menyiramkan begitu banyak air kutub seperti yang dilakukan
kala itu. Seluruh syarafku meronta.
Otot-ototku tegang bersamaan. Aku tidak mau mati.
Dengan
ketakutan amat sangat, kukerahkan semua kekuatanku untuk berteriak untuk
memanggilnya,
“Esterna
Ellane Emor!”
Ledakan
cahaya.
Tubuhku
kehilangan penopang.
Dan gelap.
…
Lucu, aku
tertawa, mengabaikan raungan minta belas kasih dari wanita di sebelah, kembali
melihat ke lubang—satu-satunya cahaya dalam selku.
Lucu, aku
menganggap segalanya berakhir ketika itu.
…
“Belum
waktunya berhenti,” suara lembut seorang wanita. Lembut dan kuat. Bukan dari
siapapun yang pernah kudengar.
Mataku
terbuka. Langsung disergap ledakan warna biru menghampar luas diselingi
awan-awan. Wajah seorang wanita lembut dan kuat sama seperti suaranya. Dia
tersenyum. Warna hijau matanya sama seperti hamparan rerumputan mengepung
lembah yang menopang lembut tubuhku. Rambut tembaga berombak tergerai dipermainkan
angin yang tidak dapat kurasakan.
“Siapa kau?" tanyaku. Tangan-tangannya terulur, membantuku bangkit. Aku baik-baik saja.
Setelah berpikir mati. Atau memang seperti inikah kematian?
Pandanganku
perlahan menegak. Ada satu perempuan lain dengan ciri sama, begitu mungil di dekat
kakiku. Wajah mereka hampir serupa.
Mereka
tidak sendirian. Ada dua orang pria di
lembah bawah. Empat orang. Pandangan mereka sama, ke arahku.
“Aku Ermael
Mouneliar,” suara lembut itu datang dari sosok yang membantuku bangkit. Hanya
suara, mulutnya tertutup rapat. Aku yakin suara itu bersumber darinya
bagaimanapun caranya.
“Itu Unem,”
dia lalu menunjuk si perempuan mungil tersenyum di dekat kakiku, "Itu Duterte
dan Belayer.” Pandangannya beralih ke dua laki-laki. Mereka mengangguk dan
tersenyum.
“Kami Jeaswind Gra,” kata Unem , "Meskipun namanya
belum ada saat eraku. Kami Jeaswind.
Sama sepertimu.”
Itu mimpi
pertamaku, yang membawa mimpi-mimpi lain di setiap tidurku pada kenyataan hidup
generasi-generasi Jeaswind Gra dan generasi-generasi pemimpin lain yang riwayat
heroiknya telah dilupakan.
Mimpi pertama
yang menjadi tanda tanya besar tentang aku.
Aku sadar
ketika sinar matahari senja memantul di atap rumah terhalang mendung, terlihat
dari samping jendelaku. Untuk sesaat sama seperti bangun dari tidur-tidur
biasanya. Hanya sepertinya mimpiku barusan, yang tidak kuingat, begitu tidak
memihak.
Lalu aku
bangkit. Leherku terbelit kaku dan nyeri di tulangnya mengembalikan setiap
detik kejadian yang telah kulewati.
Tidak sempat
terpuruk untuk kedua kalinya, suara isakan terdengar dari luar.
“Harusnya
aku tidak melakukan itu,” itu suara Ell. Kenapa dia menangis? Suara sesegukan
mengharuskan telingaku bekerja super keras. Ada seorang lain bersamanya. Dia
hanya berdehem. Cukup bagiku megetahui Ell bersama seorang laki-laki.
Apa yang
tidak seharusnya dia lakukan? Menyelamatkan aku? Apa yang membuatnya menangis?
Setelah kupikir dia menguatirkan aku, dia tidak kuatir tentang apapun yang
terjadi padaku.
“Saerga,
aku tidak bisa membiarkannya, Reinmix.”
Ah, pasti
Dreida Shaega ada di luar. Desas-desus di antara teman-teman sebayaku, ada
hubungan spesial antara kakak perempuanku dengan penguasa api itu. Ell tidak
berkomentar apapun, tapi Shaega memberi perhatian khusus padanya.
Aku tidak
mau tahu.
“Anak
kurang ajar itu…” desisan Dreida Shaega membuat telingaku berdenging.
Anak kurang
ajar itu di sebut “aku”. Dan aku mendengar setiap kata-katanya
Kalimat itu
menjadi awal ikut campur Dreida Shaega
sebagai salah satu pengendaliku. Dia tidak mau Ell kena masalah lagi. Apapun
akan dilakukan Dreida Shaega meskipun itu berarti mengikatku di tonggak untuk
menghentikan gerakanku.
“Berjanjilah
untuk melindunginya,” kata Ell. Itu katalisatornya. Membuat dentaman-dentaman
dalam rongga dadaku semakin keras.
Aku tidak
perlu dilindungi siapapun!
Jeda lama.
Memberiku waktu tenang sebelum kembali mendengarkan.
“Aku
berjanji,” suara Shaega perlahan lenyap dalam kehampaan. Aku tidak perlu
janjinya! Dan Ell tidak perlu mengemis untuk janji itu. Siapapun bagian dari
keluargaku tidak boleh mengemis untuk meminta pertolongan!
“Seharusnya
tidak kutembakkan petir itu,” suara Ell bertambah dengan penyesalan, “Akulah
Jeaswind Gra dan aku sangat ketakutan, Reinmix.”
Petir
khayalan menyambar. Bukan karena Ell mengatakan bahwa dirinya seorang Jeaswind.
Bukan pula tentang resiko yang ditanggungnya ketika mengatakan itu.
Tapi masalahku
adalah, akulah dia. Akulah Jeaswind. Akulah yang menembakkan petir saat energi
tidak sengaja terlepas ketika aku
meneriakkan namanya (yang kuketahui sekarang sebagai mantra penyembur petir).
Dan megar di belakangku mati karena itu.
Logisnya,
jika Ell yang menembak, kenapa aku tidak terkena efek tembakan dan mati. Petir
jauh lebih mematikan, bukan! Deida Shaega harusnya tahu. Ell harusnya tahu ada
lubang cukup besar dalam kebohongannya.
Keyakinanku
kuat. Ketika para Jeaswind itu menemuiku dalam mimpi, menceritakan diri mereka
dan siapa Jeaswind sebenarnya sebagai pemahaman visual dalam bayanganku. Dan
siapa aku. Mereka menyebut, akulah Jeaswind Gra. Bukan Ell.
“Hanya aku
yang tahu Esterna,” benarkah? Apa Dreida bodoh itu tahu siapa yang sebenarnya
menyembur petir? Aku sangsi , "Aku berjanji untuk melindungimu dan rahasiamu.”
Lepas dari
bagaimana tentangan kehadiran Jeaswind di eraku. Aku tidak bisa membiarkan Ell
menaggung hal itu dengan berpura-pura. Aku juga tidak mau kebenaran tentangku
di sangkal. Betapapun resikonya. Akulah Jeaswind Gra. Akulah dia.
Sedu sedan
Ell belum berhenti. Untuk pertama kalinya, aku marah. Dia tidak perlu
melindungiku dengan menutup-nutupi seperti itu, ini bukan aib tapi kekuatan. Dia
tidak perlu bohong. Dia tidak perlu menyangkal siapa aku.
Petir
pertama menyambar dekat jendela. , menggetarkan kayu pembingkai. Hujan belum
turun.
Aku melompat
leluar lewat sana. Atas desakan-desakan tekanan dari arti suara isakan Ell.
Menungggang Gisdalear ke belakang kota.
“Gra!” aku
berteriak. Kesekian kalinya setelah yang pertama aku mencoba. Petir selalu
berhasil keluar.
Mantra
pertama. Para pemimpin pernah
melakukannya. Mengacungkan telapak tangan lurus dan meneriakkan nama gelar
masing-masing. Tanah bergetar, api dan air
tersembur, angin mengamuk, sesuatu pasti akan terjadi.
Pembuktian
lain. Aku bisa menyambarkan petir dan Ell tidak bisa menyanggahnya.
“Kakakmu
tidak akan suka kau keluyuran saat badanmu masih lemah,” suara lembut Waryn
menghentikan lamunanku pada petir.
Ketakutanku
saat itu justru ada padanya. Apa dia tahu aku melakukan jurus? Semoga jeda
cukup lama sebelum kedatangannya cukup membiarkan Waryn tidak tahu apa-apa.
Aku tidak
berhak melarangnya tutup mulut seperti yang dilakukan Ell pada Dreida Shaega,
jika Waryn tahu. Justru dialah yang berhak memenjarakan aku.
“Rumahku
pengap, Alonulis,” jawabku sopan. Membiarkan rasa sakit mencengkram leher demi
kesopanan. Perban mencengkram erat, aku tidak perlu khawatir darah menyembur
lagi.
Aku mengamatinya
duduk, tenang di rerumputan di sampingku. Tidak ada raut apapun yang
menggambarkan dia ingin membunuhku dengan jurus atau apa. Syukurlah, dia tidak
tahu. Syukurlah petirku kilat berlalu.
“Alonulis,
siapa itu Ermael Mouneliar?” tanyaku, begitu bodoh pada tingkat kedewasaanku sekarang.
Tapi tidak saat itu. Emosi kanak-kanakku lebih mendominasi.
Ekspresi
kekagetan Alonulis Waryn hanya berupa sebelah alis terangkat. Senyum hangat
tidak pernah menginggalkan wajahnya. Kemudian berdehem ringan sebelum menjawab,
“Kau mengerti betapa di tentangnya Jeaswind, sayangku.”
Aku
mengangguk. Tentu saja. Bagaimana tidak jika tiap hari dalam pembelajaranku
selalu diawali dengan ideologi itu.
Tidak boleh
lagi ada Jeaswind Gra. Kelahirannya itu berarti pertanda bahwa Avoi butuh di
sembuhkan. Avoi perlu pergantian era. Dan sekarang ini, tidak ada satupun yang
menginginkan perubahan kecuali megar, itulah perseteruan yang terjadi sekarang. Kehidupan di rasa baik-baik saja
tanpa adanya perubahan. Jika Jeaswind lahir dia akan di bunuh, di bakar agar
tidak satupun sisa darinya dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.
Aku tidak
takut. Jika memang itu yang terjadi, harusnya orang-orang ini yang takut
padaku.
“Tentu
Alonulis,” jawabku.
“Tapi
beberapa orang menginginkan perubahan tertentu. Krisis moral di dunia ini perlu
diganti dengan era yang lebih baik.”
Tidak
seharusnya dia mengatakan itu, kata pikiranku sekarang. Dia ada di pihak
penentang. Dia bisa saja mengobarkan perang
sebagai pihak ketiga. Umur sepuluh
membatasi analisisku saat itu.
“Aku tidak
mengerti.”
“Suatu
saat, Caphinned. Hukum membelengguku dalam kata-kata. Jika kau ingin tahu lebih
banyak, kau bisa masuk ke perpustakaanku. Kapanpun dan apapun yang ingin kau
baca. Selama situasi aman. Kau tahu, tidak seorangpun dapat masuk kecuali
pemimpin.”
Ya, aku
tahu bahkan para pemimpin menyia-nyiakan kesempatan ini. Kecuali Waryn dan
Dreidanya—sahabatku.
…
Kunjungan
pertamaku ke sana merupakan awal bagiku menyusun kata dan riset. Tentang siapa
sebenarya Jeaswind Gra. Tidak ada yang boleh menentangnya setelah buku ini
jadi, kataku dalam hati.
Tapi
sekarang, lihatlah, betapa jiwaku membusuk dalam bilik batu sempit tanpa cahaya
sebelum keta-kataku tercerah sempurrna.
…
“Dari mana
saja kau?!” teriakan Ell terdengar begitu pintu di tutup. Wajah sembabnya masih
tersisa. Sosok Dreida Shaega tidak ada di dalam rumah. Untunglah.
“Bukan
urursanmu,” kataku, melangkah , berharap mengenyahkan wajah Ell sekarang juga.
“Itu
urusanku,” tangan Ell menyentak. Menggenggam pundakku. Cengkramannya kuat. Dia
geram ,”Lihat. Apa lagi kalau demammu kambuh seperti ini,” telapak tangannya
berpindah, menggerayangi kepalaku.
Aku
menepisnya.
“Hentikan,”
gertakku,”Berhenti peduli padaku! Berhenti melindungiku! Dan berhenti
berbohong tentangku!”
Kalimat
terakhir ampuh membuat Ell mematung.
“Apa
maksudmu?”
Sumbuku
telah dinyalakan. Aku siap meledak.
“Akulah
dia. Bukan kau seperti apa yang kau katakan pada Dreida Shaega kekasihmu itu!”
“Darimana
kau tahu?” pandangan bingung memenuhi mata Ell ,”Kau pingsan tadi.”
“Ermael
Mouneliar memberi tahuku. Akulah Jeaswind Gra!” aku meraung. Ell tidak boleh
tidak mengerti dengan penjelasan sejelas itu. Aku lega telah mengatakannya.
Petir
menyambar di belakang rumah. Memberi kebisuan selama beberapa detik.
“Jangan
coba-coba katakan pada siapapun, Saer,” sekarang Ell ketakutan, matanya mentapku
ngeri. Kenapa? Dia takut telah berbohong pada Dreida Shaega atau dia takut jika
aku tertangkap dan mati?
Aku tidak
memberi janji apapun. Pegangan Ell melemah, ini kesempatanku menghindar.
“Aku mau
pulang,” kataku melangkah ke kamar.
“Apa?”
kesadaran membawa Ell kembali.
“Pulang.
Jika memang tidak ada yang mengingiinkanku di sini.”
“Tunggu,
Saer! Tunggu ,” sekali lagi Ell coba menghentikan dengan menggamit bahuku.
Dengan tenaga yang dimilikinya sebagai prajurit terbaik di sekolah
keprajuritan, dia membalik tubuhku.
Tumpukan
baju-baju di tanganku bertebaran kemana-mana.
“Saer, kau
tidak bisa.”
“Aku bisa.
Aku kuat sekarang. Mau bukti,” kataku sinis. Aku memberontak tapi cengkraman
Ell kuat. Aku tidak sampai hati melukainya.
“Kau tidak
bisa, Saerga,” tangis Ell terbit lagi. Aku tidak menyangka Ellena yang berdiri sekokoh bongkahan batu
pinggir sungai menghujankan air mata seharian ini. Kalau saja temperamenku saat
itu tidak menutupi simpatiku pada air mata Ell,”Desa hancur.”
“Bohong,”
kataku seketika. Pertama kali untuk perseteruan ini, percaya Ellena tidak
mengatakan yang sebenarnya.
“Kau pikir
kenapa kau di pindah kemari?” Ell meraung. Amarahnya meledak, ”Sebuah serangan
meluluh lantakkannya. Alonulis membawamu kemari untuk menyelamatkamu sebelum
itu terjadi.”
Setelah
bertubi-tubi ledakan, aku mematung. Seolah kemarahanku terserap lewat pertemuan
bahuku dan telapak tangannya. Ell ganti meledak.
“Desa
hancur, Saer. Mengertilah. Mereka sudah tidak ada!”
Tangan Ell
lemas setelah meluapkan emosinya. Berdiriku tanpa sanggaan. Aku berputar, ambruk,
duduk di tepi dipan.
Diam.
Sementara
isakan Ellena terdengar keras, membasahi rokku pula.
Tidak!
Untuk kedua kalinya dalam sehari, Esterna Ellane Emor berbohong padaku.
…
Sampai sekarangpun
aku tidak tahu bagaimana nasib orang-orang desa. Bagaimana keluargaku. Akankah
penguburan mereka dilakukan dengan layak?
Sialnya,
kesedihan melodramatis semacam ini selalu menerpaku tiap kali memikirkannya.
Aku berharap bisa pulang, alih-alih bilik batu sempit tanpa celah berarti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar