Senin, 09 Juni 2014

Ingatan Pemberontakan dan Mimpi Pertama



Ada rengekan terdengar dari sel sebelah. Mungkin dari seorang wanita tahanan baru saja masuk.  Kesalahan apa yang membuatnya terperangkap dalam gua ini? Rengekkan berubah jadi lolongan keras. Aku tidak bisa melihat ke sel sebelah.
“Diam!” sipir berteriak , "Tidak akan ada yang datang untukmu, pencuri.”
Hmm, seseorang pasti datang untuk seseorang, aku percaya itu, jika Ell, cahayaku, masih ada untuk melakukannya.  Dia tidak akan membiarkan jiwaku membusuk di sini.
Yah, aku ingat pertolongannya yang paling tidak bisa kubalas sebelas tahun lalu.
“Lihat, apakah ada yang datang untukmu,” suara memuakkan serak megar dulu begitu menakutkan. Betapa dengan mudahnya seluruh tubuhku gemetar dalam cengkraman lengan-lengan kokoh dengan napas bau bangkai berhembus di ubun-ubun  kepalaku. Seharusnya aku mendengarkan kata hati kecilku untuk tidak menantang diriku sedemikian keras.
 Kuris menertawakan aku pagi ini di sekolah karena prestasi yang ku buat tidak pernah mendahului Ell dalam hal apapun. Kuputuskan untuk menantangnya. Apa yang salah? Dia mengejekku di depan seluruh siswa. Kutantang dia untuk melakukan perjalanan. Siapa yang mampu bertahan paling jauh berjalan kaki di luar tembok Sendor Timmick, dia akan dikawal yang kalah dalam sehari, termasuk menyodorkan punggung untuk pijakan dalam mencari buku. Kami sama-sama setuju. Diam-diam sebelum jam pelajaran terakhir di mulai, aku mengendap keluar bersama Kuris. Wajahnya sudah pucat sebelum pintu gerbang terlewati.
Walaupun Kuris lebih tua satu tahun dariku, nyalinya lemah. Dia berlari mendapati seorang megar tampak dari jauh, sementara aku dengan penuh kesombongan mengabaikan kata hati kecilku untuk berlari, berjalan semakin jauh.
Dan sekarang, di sinilah aku. Menganggap sepele seorang megar membuatku tertangkap dengan megar yang sama. Memalukan. Tidak dulu itu terdengar mengerikan.
Hanya dengan satu tangan dia berhasil mengunci seluruh gerakanku. Satu tangan lain mencengkram  bilah pedang tebal dan bengkok. Ujung matanya mengkilat setengah tertanam dalam tanah.  Aku tidak ragu ketika itu, mautku datang saat benda berkilat itu terangkat.
Ketakutanku terpantul sempurna dalam besi hitam sebagai sorot gadis berusia sepuluh tahun. Aku mengira tentang kematian. Berapa detik kesakitan amat sangat yang kurasakan sebelum melupakan segalanya?
Lalu ke perbuatan-perbuatan yang belum sempat kulakukan. Aku belum sempat pulang. Sejak keberangkatan pertamaku. Ya, aku tahu itu melanggar janjiku pada ibu. Tapi Ell tidak pernah membawaku ke rumah entah semenggelegar apa rengekkanku. Bagaimana jika orang rumah kembali menemuiku sebagai sosok terbujur kaku?
Lalu tentang Ell, saudari perempuanku.Esterna Ellane Emor. Aku sayang dia. Amat sangat, betapapun aku menahan untuk tidak menunjukkan itu. Bahkan dalam setiap tetesan air mataku, aku berjanji tidak akan melanggar peraturan-peraturan ketat buatannya lagi.  Dalam setiap detak ketakutan, benakku meneriakkan namanya. Aku percaya dia akan datang.
“Atau jika tidak seorangpun datang, dagingmu tetap menjadi daging empuk yang lezat,” aku tersentak oleh pemikiran dari ketakutanku sendiri. Suara tegukan terdengar kemudian, aku sadar, itu isakanku. Tubuh kecilku memberontak. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Hanya menggeliat dalam cengkraman. Makin lama makin erat.
“Diam!” inginnya aku pingsan begitu mendengar suara menggelegar menakutkan.
Jika itu terjadi sekarang—bertahun-tahun setelahnya, aku tidak perlu sekalut itu. Megar ini sendirian. Tindakan nekat untuk kaumnya memijakkan kaki kurang dari satu kilo dari tembok Sendor Timmick. Aku juga tidak mengerti kenapa dia tidak begitu saja membunuhku jika dia kelaparan. Alasan yang tidak pernah di ceritakan Ell sampai kapanpun dan aku sudah kehilangan selera untuk mengingatnya lagi sampai saat ini.

Kenyataan saat itu tangisanku terhenti oleh teror yang tidak mungkin lagi dapat kuutarakan. Seolah jantungku berhenti. Aku membatu. Hanya pandanganku yang mampu bergerak. Satu-satunya pemandangan adalah kilatan pedang bagaimana dia mendekat ke arahku.
Bayang-bayangku berganti sudut. Aku menatap sepasang mata hitam ketakutan balas menatap saat bilah pedang tepat di bawah dagu. Aku tidak merasakan sisi tajamnya mencekik, tapi percaya jika itu terjadi, bisa jadi Ell akan menemuiku dalam potongan kepala terpisah. Aku mendorong punggungku ke belakang. Berusaha sejauh mungkin dari mata pedang, tapi tidak berhasil mendapat kesan aman apapun.
“Seseorang mendekat,” suara serak itu kembali memenuhi telingaku. Aku tidak memandang apapun sampai teriakan dari suara yang kukenal sejernih cahaya dan kegelapan pekat.
“Saerga!” tatapanku lurus tersentak. Aku menemukan Ellena. Cahayaku, berlari dari lembah di bawah, melewati terusan hutan. Masih berupa garis meliuk-liuk melewati batang pohon.
“Ell!” aku berteriak sekuat tenaga. Jepitan tangan mengepungku mulai menyakitkan. Air mataku kembali deras.
Harapanku, Ell, aku percaya dia harapanku.
“Saerga!” jerit Ell memantul dari dahan ke dahan, memacuku untuk segera bebas dari cengkraman. Aku semakin memberontak , "Lepaskan dia! Lepaskan adikku!”
Ada sosok lain bergerak jauh lebih cepat dari Ell, menyeruak , menubruk tubuh kakakku dari belakang. Lajunya berhenti.
Serangan?
Bukan. Itu Reinmix Dreida.
“Jangan gegabah,” teriak Dreida Shaega. Ell meronta dalam dekapannya. Dia masih menyebut- namaku. Aku semakin ketakutan. Penolongku, satu-satunya orang yang kuinginkan terhenti di sana, di tengah-tengah jarak.
“Ellena!” aku meraung, berharap dia melakukan apapun. Menyikut menendang, meninju, apapun supaya dia bebas menjemputku. Tubuhku menggeliat kuat. Beda berkilat dingin di dagu memberi rasa sama di leher.  Dingin dan perih.
“Diam! Lihat akibatnya!” suara serak kembali berdenging. Kilatan di bawah daguku ternoda oleh bercak-bercak merah kental.
Ell semaki menjauh. Dia mengkhianatiku dalam pelukan Dreida Shaega. Tidakkah dia melihatku sedemikian takut dan tersiksa. Tidakkan dia melihat darah mengalir dari leherku? Lupakah janjinya pada ibu?
Aku berhenti meronta. Tinggal menangis sesegukan, melihat Ell hilang seiring menurunnya lembah dan lebatnya pepohonan.
“Dia tidak peduli, bukan begitu,” suara seram  itu diiringi kekehan, membuat bau busuk dari mulutnya mencemari udara di sekitar. Berapa banyak anak-anak yang dia makan? Aku mengerti ini pilihannya. Aku bersiap mati.
Untuk terakhir kalinya, sebagai upaya pengahabisan, aku berteriak , "Ellena! Tolong aku!”
Jika aku percaya sihir saat itu, aku akan mengaggap kata-kataku begitu berpengaruh.
Sosok Ell benar-benar muncul kembali, sendirian. Berlari lebih cepat dengan pedang terhunus siaga. Apapun pemberontakan yang dia lakukan, dia berhasil bebas dari Dreida Shaega dan berlari menghampiriku. Tidak akan ada yang dapat menyusulnya setelah ini.
“Ah”, suara mengerikan megar, "aku tidak suka kesempatan kedua. Membosankan, eh? Dagingmu akan terlalu keras jika aku membiarkanmu tegang terlalu lama.”
Kengerian teror tidak pernah menyiramkan begitu banyak air kutub seperti yang dilakukan kala itu. Seluruh syarafku  meronta. Otot-ototku tegang bersamaan. Aku tidak mau mati.
Dengan ketakutan amat sangat, kukerahkan semua kekuatanku untuk berteriak untuk memanggilnya,
“Esterna Ellane Emor!”
Ledakan cahaya.
Tubuhku kehilangan penopang.
Dan gelap.


Lucu, aku tertawa, mengabaikan raungan minta belas kasih dari wanita di sebelah, kembali melihat ke lubang—satu-satunya cahaya dalam selku.
Lucu, aku menganggap segalanya berakhir ketika itu.

“Belum waktunya berhenti,” suara lembut seorang wanita. Lembut dan kuat. Bukan dari siapapun yang pernah kudengar.
Mataku terbuka. Langsung disergap ledakan warna biru menghampar luas diselingi awan-awan. Wajah seorang wanita lembut dan kuat sama seperti suaranya. Dia tersenyum. Warna hijau matanya sama seperti hamparan rerumputan mengepung lembah yang menopang lembut tubuhku. Rambut tembaga berombak tergerai dipermainkan angin yang tidak dapat kurasakan.
“Siapa kau?" tanyaku. Tangan-tangannya terulur, membantuku bangkit. Aku baik-baik saja. Setelah berpikir mati. Atau memang seperti inikah kematian?
Pandanganku perlahan menegak. Ada satu perempuan lain dengan ciri sama, begitu mungil di dekat kakiku. Wajah mereka hampir serupa.
Mereka tidak sendirian. Ada dua orang pria  di lembah bawah. Empat orang. Pandangan mereka sama, ke arahku.
“Aku Ermael Mouneliar,” suara lembut itu datang dari sosok yang membantuku bangkit. Hanya suara, mulutnya tertutup rapat. Aku yakin suara itu bersumber darinya bagaimanapun caranya.
“Itu Unem,” dia lalu menunjuk si perempuan mungil tersenyum di dekat kakiku, "Itu Duterte dan Belayer.” Pandangannya beralih ke dua laki-laki. Mereka mengangguk dan tersenyum.
“Kami  Jeaswind Gra,” kata Unem , "Meskipun namanya belum ada saat eraku.  Kami Jeaswind. Sama sepertimu.”

Itu mimpi pertamaku, yang membawa mimpi-mimpi lain di setiap tidurku pada kenyataan hidup generasi-generasi Jeaswind Gra dan generasi-generasi pemimpin lain yang riwayat heroiknya telah dilupakan.
Mimpi pertama yang menjadi tanda tanya besar tentang aku.



Aku sadar ketika sinar matahari senja memantul di atap rumah terhalang mendung, terlihat dari samping jendelaku. Untuk sesaat sama seperti bangun dari tidur-tidur biasanya. Hanya sepertinya mimpiku barusan, yang tidak kuingat, begitu tidak memihak.
Lalu aku bangkit. Leherku terbelit kaku dan nyeri di tulangnya mengembalikan setiap detik kejadian yang telah kulewati.
Tidak sempat terpuruk untuk kedua kalinya, suara isakan terdengar dari luar.
“Harusnya aku tidak melakukan itu,” itu suara Ell. Kenapa dia menangis? Suara sesegukan mengharuskan telingaku bekerja super keras. Ada seorang lain bersamanya. Dia hanya berdehem. Cukup bagiku megetahui Ell bersama seorang laki-laki.
Apa yang tidak seharusnya dia lakukan? Menyelamatkan aku? Apa yang membuatnya menangis? Setelah kupikir dia menguatirkan aku, dia tidak kuatir tentang apapun yang terjadi padaku.
“Saerga, aku tidak bisa membiarkannya, Reinmix.”
Ah, pasti Dreida Shaega ada di luar. Desas-desus di antara teman-teman sebayaku, ada hubungan spesial antara kakak perempuanku dengan penguasa api itu. Ell tidak berkomentar apapun, tapi Shaega memberi perhatian khusus padanya.
Aku tidak mau tahu.
“Anak kurang ajar itu…” desisan Dreida Shaega membuat telingaku berdenging.
Anak kurang ajar itu di sebut “aku”. Dan aku mendengar setiap kata-katanya
Kalimat itu menjadi awal ikut campur Dreida Shaega  sebagai salah satu pengendaliku. Dia tidak mau Ell kena masalah lagi. Apapun akan dilakukan Dreida Shaega meskipun itu berarti mengikatku di tonggak untuk menghentikan gerakanku.
“Berjanjilah untuk melindunginya,” kata Ell. Itu katalisatornya. Membuat dentaman-dentaman dalam rongga dadaku semakin keras.
Aku tidak perlu dilindungi siapapun!
Jeda lama. Memberiku waktu tenang sebelum kembali mendengarkan.
“Aku berjanji,” suara Shaega perlahan lenyap dalam kehampaan. Aku tidak perlu janjinya! Dan Ell tidak perlu mengemis untuk janji itu. Siapapun bagian dari keluargaku tidak boleh mengemis untuk meminta pertolongan!
“Seharusnya tidak kutembakkan petir itu,” suara Ell bertambah dengan penyesalan, “Akulah Jeaswind Gra dan aku sangat ketakutan, Reinmix.”
Petir khayalan menyambar. Bukan karena Ell mengatakan bahwa dirinya seorang Jeaswind. Bukan pula tentang resiko yang ditanggungnya ketika mengatakan itu.
Tapi masalahku adalah, akulah dia. Akulah Jeaswind. Akulah yang menembakkan petir saat energi tidak sengaja terlepas  ketika aku meneriakkan namanya (yang kuketahui sekarang sebagai mantra penyembur petir). Dan megar di belakangku mati karena itu.
Logisnya, jika Ell yang menembak, kenapa aku tidak terkena efek tembakan dan mati. Petir jauh lebih mematikan, bukan! Deida Shaega harusnya tahu. Ell harusnya tahu ada lubang cukup besar dalam kebohongannya.
Keyakinanku kuat. Ketika para Jeaswind itu menemuiku dalam mimpi, menceritakan diri mereka dan siapa Jeaswind sebenarnya sebagai pemahaman visual dalam bayanganku. Dan siapa aku. Mereka menyebut, akulah Jeaswind Gra. Bukan Ell.
“Hanya aku yang tahu Esterna,” benarkah? Apa Dreida bodoh itu tahu siapa yang sebenarnya menyembur petir? Aku sangsi , "Aku berjanji untuk melindungimu dan rahasiamu.”
Lepas dari bagaimana tentangan kehadiran Jeaswind di eraku. Aku tidak bisa membiarkan Ell menaggung hal itu dengan berpura-pura. Aku juga tidak mau kebenaran tentangku di sangkal. Betapapun resikonya. Akulah Jeaswind Gra. Akulah dia.
Sedu sedan Ell belum berhenti. Untuk pertama kalinya, aku marah. Dia tidak perlu melindungiku dengan menutup-nutupi seperti itu, ini bukan aib tapi kekuatan. Dia tidak perlu bohong. Dia tidak perlu menyangkal siapa aku.
Petir pertama menyambar dekat jendela. , menggetarkan kayu pembingkai. Hujan belum turun.
Aku melompat leluar lewat sana. Atas desakan-desakan tekanan dari arti suara isakan Ell. Menungggang Gisdalear ke belakang kota.


“Gra!” aku berteriak. Kesekian kalinya setelah yang pertama aku mencoba. Petir selalu berhasil keluar.
Mantra pertama.  Para pemimpin pernah melakukannya. Mengacungkan telapak tangan lurus dan meneriakkan nama gelar masing-masing.  Tanah bergetar, api dan air tersembur, angin mengamuk, sesuatu pasti akan terjadi.
Pembuktian lain. Aku bisa menyambarkan petir dan Ell tidak bisa menyanggahnya.
“Kakakmu tidak akan suka kau keluyuran saat badanmu masih lemah,” suara lembut Waryn menghentikan lamunanku pada petir.
Ketakutanku saat itu justru ada padanya. Apa dia tahu aku melakukan jurus? Semoga jeda cukup lama sebelum kedatangannya cukup membiarkan Waryn tidak tahu apa-apa.
Aku tidak berhak melarangnya tutup mulut seperti yang dilakukan Ell pada Dreida Shaega, jika Waryn tahu. Justru dialah yang berhak memenjarakan aku.
“Rumahku pengap, Alonulis,” jawabku sopan. Membiarkan rasa sakit mencengkram leher demi kesopanan. Perban mencengkram erat, aku tidak perlu khawatir darah menyembur lagi.
Aku mengamatinya duduk, tenang di rerumputan di sampingku. Tidak ada raut apapun yang menggambarkan dia ingin membunuhku dengan jurus atau apa. Syukurlah, dia tidak tahu. Syukurlah petirku kilat berlalu.
“Alonulis, siapa itu Ermael Mouneliar?” tanyaku, begitu bodoh pada tingkat kedewasaanku sekarang. Tapi tidak saat itu. Emosi kanak-kanakku lebih mendominasi.
Ekspresi kekagetan Alonulis Waryn hanya berupa sebelah alis terangkat. Senyum hangat tidak pernah menginggalkan wajahnya.  Kemudian berdehem ringan sebelum menjawab, “Kau mengerti betapa di tentangnya Jeaswind, sayangku.”
Aku mengangguk. Tentu saja. Bagaimana tidak jika tiap hari dalam pembelajaranku selalu diawali dengan ideologi itu.
Tidak boleh lagi ada Jeaswind Gra. Kelahirannya itu berarti pertanda bahwa Avoi butuh di sembuhkan. Avoi perlu pergantian era. Dan sekarang ini, tidak ada satupun yang menginginkan perubahan kecuali megar, itulah perseteruan yang terjadi  sekarang. Kehidupan di rasa baik-baik saja tanpa adanya perubahan. Jika Jeaswind lahir dia akan di bunuh, di bakar agar tidak satupun sisa darinya dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.
Aku tidak takut. Jika memang itu yang terjadi, harusnya orang-orang ini yang takut padaku.
“Tentu Alonulis,” jawabku.
“Tapi beberapa orang menginginkan perubahan tertentu. Krisis moral di dunia ini perlu diganti dengan era yang lebih baik.”
Tidak seharusnya dia mengatakan itu, kata pikiranku sekarang. Dia ada di pihak penentang. Dia bisa saja mengobarkan perang  sebagai pihak ketiga. Umur sepuluh  membatasi analisisku saat itu.
“Aku tidak mengerti.”
“Suatu saat, Caphinned. Hukum membelengguku dalam kata-kata. Jika kau ingin tahu lebih banyak, kau bisa masuk ke perpustakaanku. Kapanpun dan apapun yang ingin kau baca. Selama situasi aman. Kau tahu, tidak seorangpun dapat masuk kecuali pemimpin.”

Ya, aku tahu bahkan para pemimpin menyia-nyiakan kesempatan ini. Kecuali Waryn dan Dreidanya—sahabatku.


Kunjungan pertamaku ke sana merupakan awal bagiku menyusun kata dan riset. Tentang siapa sebenarya Jeaswind Gra. Tidak ada yang boleh menentangnya setelah buku ini jadi, kataku dalam hati.
Tapi sekarang, lihatlah, betapa jiwaku membusuk dalam bilik batu sempit tanpa cahaya sebelum keta-kataku tercerah sempurrna.


“Dari mana saja kau?!” teriakan Ell terdengar begitu pintu di tutup. Wajah sembabnya masih tersisa. Sosok Dreida Shaega tidak ada di dalam rumah. Untunglah.
“Bukan urursanmu,” kataku, melangkah , berharap mengenyahkan wajah Ell sekarang juga.
“Itu urusanku,” tangan Ell menyentak. Menggenggam pundakku. Cengkramannya kuat. Dia geram ,”Lihat. Apa lagi kalau demammu kambuh seperti ini,” telapak tangannya berpindah, menggerayangi kepalaku.
Aku menepisnya.
“Hentikan,” gertakku,”Berhenti peduli padaku! Berhenti melindungiku! Dan berhenti berbohong  tentangku!”
Kalimat terakhir ampuh membuat Ell mematung.
“Apa maksudmu?”
Sumbuku telah dinyalakan. Aku siap meledak.
“Akulah dia. Bukan kau seperti apa yang kau katakan pada Dreida Shaega kekasihmu itu!”
“Darimana kau tahu?” pandangan bingung memenuhi mata Ell ,”Kau pingsan tadi.”
“Ermael Mouneliar memberi tahuku. Akulah Jeaswind Gra!” aku meraung. Ell tidak boleh tidak mengerti dengan penjelasan sejelas itu. Aku lega telah mengatakannya.
Petir menyambar di belakang rumah. Memberi kebisuan selama beberapa detik.
“Jangan coba-coba katakan pada siapapun, Saer,” sekarang Ell ketakutan, matanya mentapku ngeri. Kenapa? Dia takut telah berbohong pada Dreida Shaega atau dia takut jika aku tertangkap dan mati?
Aku tidak memberi janji apapun. Pegangan Ell melemah, ini kesempatanku menghindar.
“Aku mau pulang,” kataku melangkah ke kamar.
“Apa?” kesadaran membawa Ell kembali.
“Pulang. Jika memang tidak ada yang mengingiinkanku di sini.”
“Tunggu, Saer! Tunggu ,” sekali lagi Ell coba menghentikan dengan menggamit bahuku. Dengan tenaga yang dimilikinya sebagai prajurit terbaik di sekolah keprajuritan, dia membalik tubuhku.
Tumpukan baju-baju di tanganku bertebaran kemana-mana.
“Saer, kau tidak bisa.”
“Aku bisa. Aku kuat sekarang. Mau bukti,” kataku sinis. Aku memberontak tapi cengkraman Ell kuat. Aku tidak sampai hati melukainya.
“Kau tidak bisa, Saerga,” tangis Ell terbit lagi. Aku tidak menyangka  Ellena yang berdiri sekokoh bongkahan batu pinggir sungai menghujankan air mata seharian ini. Kalau saja temperamenku saat itu tidak menutupi simpatiku pada air mata Ell,”Desa hancur.”
“Bohong,” kataku seketika. Pertama kali untuk perseteruan ini, percaya Ellena tidak mengatakan yang sebenarnya.
“Kau pikir kenapa kau di pindah kemari?” Ell meraung. Amarahnya meledak, ”Sebuah serangan meluluh lantakkannya. Alonulis membawamu kemari untuk menyelamatkamu sebelum itu terjadi.”
Setelah bertubi-tubi ledakan, aku mematung. Seolah kemarahanku terserap lewat pertemuan bahuku dan telapak tangannya. Ell ganti meledak.
“Desa hancur, Saer. Mengertilah. Mereka sudah tidak ada!”
Tangan Ell lemas setelah meluapkan emosinya. Berdiriku tanpa sanggaan. Aku berputar, ambruk, duduk di tepi dipan.
Diam.
Sementara isakan Ellena terdengar keras, membasahi rokku pula.
Tidak! Untuk kedua kalinya dalam sehari, Esterna Ellane Emor berbohong padaku.


Sampai sekarangpun aku tidak tahu bagaimana nasib orang-orang desa. Bagaimana keluargaku. Akankah penguburan mereka dilakukan dengan layak?
Sialnya, kesedihan melodramatis semacam ini selalu menerpaku tiap kali memikirkannya. Aku berharap bisa pulang, alih-alih bilik batu sempit tanpa celah berarti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar