“Ini kamarmu,” suara kekehan sipir membuatku
kembali memandang teralis, mengalihkan pandanganku dari celah. Seseorang baru
pasti ditambahkan dalam penjara. Aku tidak bisa melihatnya. Dinding batu tidak
menyisakan padangan kesamping dan akses untuk saling berinteraksi dengan
kriminal lain. Apa salah orang itu kali ini?
Aku
mendengus. Pernah mendengar suara itu dilantunkan lebih ramah oleh cahayaku.
...
“Ini
kamarmu,” Ell menunjukkan satu ruangan kecil di samping ruangannya. Perjalanan
kami baru saja berakhir. Tanpa sambutan. Ell langsung menuntunku menuju ke sini.
“Ini
rumahmu?” kataku, menilai betapa kecil. Aku mengingat hanya ada satu ruangan
dalam rumah berhimpitan dengan tetangga lain. Bahkan kuda Ell harus dititipkan
tiang berpeneduh yang mereka sebut kandang, sebelum gang. Dia membagi ruangan
menjadi tiga bilik. Dua yang kecil menjadi kamar untukku dan dia, dan satu
ruangan cukup besar untuk dua kali panjang tubuhku sekarang ditambah satu
setengah kalinya, berdesakan antara meja kursi dan dapur. Memang kecil dan bau
macam-macam, tapi aku menyukainya.
“Wreida
Waryn memberikan ini, kau harus hormat padanya.”
Aku
ingat siapa dia. Seorang wanita di atas kuda yang melarang ibu menemui Ellena.
Saudariku tahu aku enggan padanya sejak pertama bertemu. Bahkan sepanjang
perjalanan, aku tidak mau dekat-dekat seramah apapun dia mencoba bersikap pada
anak kecil seusiaku saat itu.
“Dia
jahat,” ceplosku, di sambut tatapan sinis Ell. Aku menghempas ke kasur. Tidak
seempuk yang kukura, meloncatakan
oragan-oragan dalam tubuhku sementara Ellena menyusun barang-barangku di
rak dan meja.
“Pegang
ini,” kata Ell sigap. Tidak menggubris kata-kataku. Baru kemudian aku sadar
cairan keluar tanpa kendali dari hidungku. Beberapa tetes berhasil kelar,
memberi warna bercak merah di rok. “Tunggu,” Ell segera berkutat dengan
bahan-bahan dalam lemari depan. Aku memagangi handuk dan merasakan betapa
leganya kepalaku semakin banyak darah keluar. Kepalaku pusing berat, dan perlu
proses ini untuk menyembuhkannya. Satu-satunya yang dimengerti Ell hingga akhir
hayatnya sebagai kutukanku.
Kemudian
sekolah. Hal kedua yang menyambut sesegera setelah kau datang. Berapa waktu
yang kumiliki untuk mengagumi perbedaan suasana? Itu pasti kurang dari sehari.
Aku tahu
aku tidak pernah lulus sekolah formal keprajuritan hingga dinobatkan sebagai
prajurit utama. Aku tidak menyalahkan siapaun tentang itu. Bahkan tanpa pangkat
prajurit apa-apa, mereka takut padaku. Menggelikan! Lalu apa lagi alasan aku berada
di dalam kabin batu berhimpit dengan penerangan satu-satunya adalah lubang
berfunsi ganda sebagai penglihatanku ke dunia luar.
Lucu.
Aku mengikuti
sekolah keprajuritan dengan cukup baik. Di samping begitu banyaknya ijin karena
demam mendadak, dan beberapa kali ocehan Ell, dan ketahanan tubuhku untuk rasa
sakit, nyeri dan meriang alami tanpa ditambah lagi luka-luka tidak sengaja
akibat latihan. Alasan aku tidak pernah lulus adalah karena berhenti di
tengah-tengah. Tapi aku juga bukan orang bodoh. Beberapa pelajaran tambahan
berguna, seperti pendalaman sejarah, lagu dan menunggang kuda, berharap ketika
itu aku mendapatkan kuda.
Aku
mengingat pertemuanku dengan kuda itu.
Ketika
berjalan sendirian tanpa arah pasti melewati perkebunan bunga di separo timur
Sendor Timmick. Perintah ibu dan beberapa peraturan menjadi kekuatiran Ell
terhadapku, dan kekuatirannya menjadi penjagaku, dan penjagaannya menjadi
kekangku. Semuanya mulai tidak masuk akal dan aku muali merasa perlu untuk
memberontak. Seperti saat aku begitu demam untuk mengiukuti pelajaran dia memaksaku
bersekolah. Sentuhan tangannya di dahiku bahkan tidak membantunya percaya bahwa
aku benar-benar demam parah.
“Kau
harus sekolah. Baru lusa kemarin kau demam.”
Lalu
kenapa? Kala itu aku bertanya-tanya. Demam dan sakit apapun tidak dapat
terduga. Dia yang kebanyakan membolos saat pelajaran penting hanya untum tidur
seharian, padahal dia tidak kenapa-napa. Dan saat hujan petir, Sendor Timmick
dilanda badai. Aku baik-baik saja berada diluar, melihat petir, dan dia
menggertakku untuk segera tidur. Dan ketika aku mencoba untuk dekat dengan
Wreida Irgan demi mendapat satu kudanya bebas berkeliaran seharian bersamaku di
padang rumput. Dia sangat tidak suka aku dekat-dekat dengan salah satu generasi
raja. Bukan iri, aku tidak melihatnya begitu. Alasannya ketika itu tidak jelas
untuk otak kanak-kanakku.
Jadi,
aku membolos pada suatu siang. Kepalaku tidak bisa berkompromi,
berdentam-dentam. Langit mendung cocok untukku saat obat mulai membautku bosan.
Entah berapa kali aku menggeleng kuat tiap
menit untuk menghilangkan kebas mencengkram di leher. Untung matahari terhalang
awan. Hamaparan rumput dan kuncup bunga sayang untuk dilewatkan.
“Kau
ingin pulang?” suara lembut berhasil memfokuskan pandanganku. Sebenarnya
konsentraasi sangat mengganggu sekarang, tapi suara itu tidak bisa diabaikan.
Aku
menoleh, menemukan sosok dalam gaun berkibar di balik jubah biru laut tersebar
dipunggung seekor kuda. Sejak pertemuan
pertama aku tidak pernah menyukainya, sungguh. Tapi rasa hormat atas dasar adat
mau tidak mau membaut kepalaku membungkuk ketika Waryn melompat turun.
“Membolos,
eh, nona kecil?”
“Kepalaku
sakit, Alonulis,” kataku jujur. Tidak ada yang terlewat dari padangannya di mata
anak usia tiga belas tahun.
“Kenapa
jalan kaki? Penjaga tempat pelatihan bisa mengantarkanmu jika meminta
baik-baik.”
“Sebenarnya
pelajaranku hari ini pelaaran berkuda Alonulis. Tidak ada penjaga didekat
istana Aeswa.”
“Kakakmu
pasti kuatir sekali jika tahu kau memaksa berjalan begini.” Satu tangannya
tidak bisa kusingkirkan, membebani lembut kepalaku.
“Dia
akan marah besar, Yang Mulia,” kataku. Ell selalu begitu. Dia berjanji
menjeput, tapi itu berarti aku harus bertahan dengan sakit kepala ketika kuda
tungganganku melesat.
“Ah,
jangan berpikiran buruk, sayang. Dia pelindungmu.”
“Atas
hal apa? Aku tidak melihat itu padanya sama sekali kecuali sebagai batasanku,”
telingaku berdenging. Mataku berkedip-kedip keras.
“Kau
akan mengerti suatu saat nanti.”
“Yah,
paling tidak aku kagum padanya.”
Ada alasan
kenapa aku mengatakan kejujuran menyenangkan di balik kata-kata negatifku
tentang Ell. Dia prajurit sejati dan brilian. Bahkan diusianya sekarang, dia
sudah dinobatkan pada pasukan baris dua. Terlalu dini untuk usianya dimana
murid-murid lain harus belajar tentang merapatkan barisan.
“Dia
bagus dalam sekolah keprajuritan.” Tentu saja Ell sudah lulus, di bawah
bimbingan Wreida Shaega tua yang menemukan potensi dalam dirinya. Padahal dia
sering membolos hanya untuk mengurung diri dalam kamar. Aku selalu melindunginya dengan kebohongan
terpercaya dari orang-orang ingin tahu tentang hal ini. “Akankah kau juga sama?”
“Aku pikir
begitu. Tapi Ell ada di pasukan pedang dan sepertinya bakatku juga begitu,
sedangkan aku ingin main tombak.” Aku berkedip lagi.
“Sebaiknya
kau memang harus pergi dari tempat latihan,” kata Waryn lembut, mengerti arti
tiap kedipan kerasku.
“Ya, aku
harus pulang. Terima kasih, Alonulis,” kataku membuangkuk kembali dengan segala
kerendahan hati, hendak melangkah.
“Tunggu,”
suara Waryn kembali, diikuti siulan dan berhentinya ayunan kakiku sebelum
langkah kedua.
Aku memandang
ke bawah lembah karena seekor kuda datang menarik perhatianku. Berkilauan coklat bagai tembaga mentah dengan
otot-otot menonjol dan surai ringan
panjang. Kecepatannya berlari memukau pandanganku. Dia sudah berada di hadapan
Waryn , sebelum terpesonaku hilang. Kuda di tempat pelatihan yang bisa dipinjam
dan alasan latihan tidak segagah ini.
‘’Peranakan
kuda Lurkergs. Kuda seorang Jeaswind sebelum seluruh generasinya dimusnahkan.
Tinggal terisa satu ini. Bagaimana menurutmu?”
“Indah,”
aku tidak berhasil menemukan kata lain. Hanya berani memandang. Tali telaminya
ada dalam genggaman Waryn. Dan bukan sebuah kesopanan jika tanganmu berada
sejajar dengan tangan para pemimpin.
“Sentuhlah,”
suara Waryn mengalir lembut. Membangkitkan perasaan sayang pada hewan itu.
Tidak. Aku tidak menganggapnya hewan
lagi setelah terpesona ketika dia berlari mendekat. “Dia milikmu.”
Suaraku
hilang oleh perasaan bahagia. Aku mendapat kuda! Benar-benar kuda. Tanpa melakukan
apapun. Ell mendapatkan miliknya sebagai hadiah kelulusan tercepat dan terbaik, dan aku tanpa
jerih apa-apa.
Tidak membanggangkan,
tapi aku suka.
“Beri
dia nama dan kendarailah untuk menuju istana bersamaku.”
Aku
sepakat dengan sebuah nama. Gisdalear. Nama yang diberikan seorang Aeswa untuk
kuda yang menyelamatkan naywanya ketika hukum belum menaunginya sebagai Dreida.
Warna coklat yang kubayangkan dari kuda Aeswa itu sama dengan coklatnya kuda
ini.
Itulah pertemuan
pertamaku dengan kudaku, yang sekarang terenggut begitu saja. Pertemuan
pertamaku dengan Dreida Waryn, yang selalu membantu dan menerimaku apa adanya
sebagai teman. Dan pertemuanku dengan pertanyaan pertama tentang Jeaswind Gra.