Kamis, 29 Mei 2014

Ingatan Pertama sebagai Prajurit


 “Ini kamarmu,” suara kekehan sipir membuatku kembali memandang teralis, mengalihkan pandanganku dari celah. Seseorang baru pasti ditambahkan dalam penjara. Aku tidak bisa melihatnya. Dinding batu tidak menyisakan padangan kesamping dan akses untuk saling berinteraksi dengan kriminal lain. Apa salah orang itu kali ini?
Aku mendengus. Pernah mendengar suara itu dilantunkan lebih ramah oleh cahayaku.

...

“Ini kamarmu,” Ell menunjukkan satu ruangan kecil di samping ruangannya. Perjalanan kami baru saja berakhir. Tanpa sambutan. Ell langsung menuntunku menuju ke sini.
“Ini rumahmu?” kataku, menilai betapa kecil. Aku mengingat hanya ada satu ruangan dalam rumah berhimpitan dengan tetangga lain. Bahkan kuda Ell harus dititipkan tiang berpeneduh yang mereka sebut kandang, sebelum gang. Dia membagi ruangan menjadi tiga bilik. Dua yang kecil menjadi kamar untukku dan dia, dan satu ruangan cukup besar untuk dua kali panjang tubuhku sekarang ditambah satu setengah kalinya, berdesakan antara meja kursi dan dapur. Memang kecil dan bau macam-macam, tapi aku menyukainya.
“Wreida Waryn memberikan ini, kau harus hormat padanya.”
Aku ingat siapa dia. Seorang wanita di atas kuda yang melarang ibu menemui Ellena. Saudariku tahu aku enggan padanya sejak pertama bertemu. Bahkan sepanjang perjalanan, aku tidak mau dekat-dekat seramah apapun dia mencoba bersikap pada anak kecil seusiaku saat itu.
“Dia jahat,” ceplosku, di sambut tatapan sinis Ell. Aku menghempas ke kasur. Tidak seempuk yang kukura, meloncatakan  oragan-oragan dalam tubuhku sementara Ellena menyusun barang-barangku di rak dan meja.
“Pegang ini,” kata Ell sigap. Tidak menggubris kata-kataku. Baru kemudian aku sadar cairan keluar tanpa kendali dari hidungku. Beberapa tetes berhasil kelar, memberi warna bercak merah di rok. “Tunggu,” Ell segera berkutat dengan bahan-bahan dalam lemari depan. Aku memagangi handuk dan merasakan betapa leganya kepalaku semakin banyak darah keluar. Kepalaku pusing berat, dan perlu proses ini untuk menyembuhkannya. Satu-satunya yang dimengerti Ell hingga akhir hayatnya sebagai kutukanku.

                  
Kemudian sekolah. Hal kedua yang menyambut sesegera setelah kau datang. Berapa waktu yang kumiliki untuk mengagumi perbedaan suasana? Itu pasti kurang dari sehari.
Aku tahu aku tidak pernah lulus sekolah formal keprajuritan hingga dinobatkan sebagai prajurit utama. Aku tidak menyalahkan siapaun tentang itu. Bahkan tanpa pangkat prajurit apa-apa, mereka takut padaku. Menggelikan! Lalu apa lagi alasan aku berada di dalam kabin batu berhimpit dengan penerangan satu-satunya adalah lubang berfunsi ganda sebagai penglihatanku ke dunia luar.
Lucu.
Aku mengikuti sekolah keprajuritan dengan cukup baik. Di samping begitu banyaknya ijin karena demam mendadak, dan beberapa kali ocehan Ell, dan ketahanan tubuhku untuk rasa sakit, nyeri dan meriang alami tanpa ditambah lagi luka-luka tidak sengaja akibat latihan. Alasan aku tidak pernah lulus adalah karena berhenti di tengah-tengah. Tapi aku juga bukan orang bodoh. Beberapa pelajaran tambahan berguna, seperti pendalaman sejarah, lagu dan menunggang kuda, berharap ketika itu aku mendapatkan kuda.  
Aku mengingat pertemuanku dengan kuda itu.
Ketika berjalan sendirian tanpa arah pasti melewati perkebunan bunga di separo timur Sendor Timmick. Perintah ibu dan beberapa peraturan menjadi kekuatiran Ell terhadapku, dan kekuatirannya menjadi penjagaku, dan penjagaannya menjadi kekangku. Semuanya mulai tidak masuk akal dan aku muali merasa perlu untuk memberontak. Seperti saat aku begitu demam untuk mengiukuti pelajaran dia memaksaku bersekolah. Sentuhan tangannya di dahiku bahkan tidak membantunya percaya bahwa aku benar-benar demam parah.
“Kau harus sekolah. Baru lusa kemarin kau demam.”
Lalu kenapa? Kala itu aku bertanya-tanya. Demam dan sakit apapun tidak dapat terduga. Dia yang kebanyakan membolos saat pelajaran penting hanya untum tidur seharian, padahal dia tidak kenapa-napa. Dan saat hujan petir, Sendor Timmick dilanda badai. Aku baik-baik saja berada diluar, melihat petir, dan dia menggertakku untuk segera tidur. Dan ketika aku mencoba untuk dekat dengan Wreida Irgan demi mendapat satu kudanya bebas berkeliaran seharian bersamaku di padang rumput. Dia sangat tidak suka aku dekat-dekat dengan salah satu generasi raja. Bukan iri, aku tidak melihatnya begitu. Alasannya ketika itu tidak jelas untuk otak kanak-kanakku.

Jadi, aku membolos pada suatu siang. Kepalaku tidak bisa berkompromi, berdentam-dentam. Langit mendung cocok untukku saat obat mulai membautku bosan.  Entah berapa kali aku menggeleng kuat tiap menit untuk menghilangkan kebas mencengkram di leher. Untung matahari terhalang awan. Hamaparan rumput dan kuncup bunga sayang untuk dilewatkan.
“Kau ingin pulang?” suara lembut berhasil memfokuskan pandanganku. Sebenarnya konsentraasi sangat mengganggu sekarang, tapi suara itu tidak bisa diabaikan.
Aku menoleh, menemukan sosok dalam gaun berkibar di balik jubah biru laut tersebar dipunggung seekor kuda.  Sejak pertemuan pertama aku tidak pernah menyukainya, sungguh. Tapi rasa hormat atas dasar adat mau tidak mau membaut kepalaku membungkuk ketika Waryn melompat turun.
“Membolos, eh, nona kecil?”
“Kepalaku sakit, Alonulis,” kataku jujur. Tidak ada yang terlewat dari padangannya di mata anak usia tiga belas tahun.
“Kenapa jalan kaki? Penjaga tempat pelatihan bisa mengantarkanmu jika meminta baik-baik.”
“Sebenarnya pelajaranku hari ini pelaaran berkuda Alonulis. Tidak ada penjaga didekat istana Aeswa.”
“Kakakmu pasti kuatir sekali jika tahu kau memaksa berjalan begini.” Satu tangannya tidak bisa kusingkirkan, membebani lembut kepalaku.
“Dia akan marah besar, Yang Mulia,” kataku. Ell selalu begitu. Dia berjanji menjeput, tapi itu berarti aku harus bertahan dengan sakit kepala ketika kuda tungganganku melesat.
“Ah, jangan berpikiran buruk, sayang. Dia pelindungmu.”
“Atas hal apa? Aku tidak melihat itu padanya sama sekali kecuali sebagai batasanku,” telingaku berdenging. Mataku berkedip-kedip keras.
“Kau akan mengerti suatu saat nanti.”
“Yah, paling tidak aku kagum padanya.”
Ada alasan kenapa aku mengatakan kejujuran menyenangkan di balik kata-kata negatifku tentang Ell. Dia prajurit sejati dan brilian. Bahkan diusianya sekarang, dia sudah dinobatkan pada pasukan baris dua. Terlalu dini untuk usianya dimana murid-murid lain harus belajar tentang merapatkan barisan.  
“Dia bagus dalam sekolah keprajuritan.” Tentu saja Ell sudah lulus, di bawah bimbingan Wreida Shaega tua yang menemukan potensi dalam dirinya. Padahal dia sering membolos hanya untuk mengurung diri dalam kamar.  Aku selalu melindunginya dengan kebohongan terpercaya dari orang-orang ingin tahu tentang hal ini.  “Akankah kau juga sama?”
“Aku pikir begitu. Tapi Ell ada di pasukan pedang dan sepertinya bakatku juga begitu, sedangkan aku ingin main tombak.” Aku berkedip lagi.
“Sebaiknya kau memang harus pergi dari tempat latihan,” kata Waryn lembut, mengerti arti tiap kedipan kerasku.
“Ya, aku harus pulang. Terima kasih, Alonulis,” kataku membuangkuk kembali dengan segala kerendahan hati, hendak melangkah.
“Tunggu,” suara Waryn kembali, diikuti siulan dan berhentinya ayunan kakiku sebelum langkah kedua.
Aku memandang ke bawah lembah karena seekor kuda datang menarik perhatianku.  Berkilauan coklat bagai tembaga mentah dengan otot-otot  menonjol dan surai ringan panjang. Kecepatannya berlari memukau pandanganku. Dia sudah berada di hadapan Waryn , sebelum terpesonaku hilang. Kuda di tempat pelatihan yang bisa dipinjam dan alasan latihan tidak segagah ini.
‘’Peranakan kuda Lurkergs. Kuda seorang Jeaswind sebelum seluruh generasinya dimusnahkan. Tinggal terisa satu ini. Bagaimana menurutmu?”
“Indah,” aku tidak berhasil menemukan kata lain. Hanya berani memandang. Tali telaminya ada dalam genggaman Waryn. Dan bukan sebuah kesopanan jika tanganmu berada sejajar dengan tangan para pemimpin.
“Sentuhlah,” suara Waryn mengalir lembut. Membangkitkan perasaan sayang pada hewan itu. Tidak. Aku  tidak menganggapnya hewan lagi setelah terpesona ketika dia berlari mendekat.  “Dia milikmu.”
Suaraku hilang oleh perasaan bahagia. Aku mendapat kuda! Benar-benar kuda. Tanpa melakukan apapun. Ell mendapatkan miliknya sebagai hadiah  kelulusan tercepat dan terbaik, dan aku tanpa jerih apa-apa.
Tidak membanggangkan, tapi aku suka.
“Beri dia nama dan kendarailah untuk menuju istana bersamaku.”
Aku sepakat dengan sebuah nama. Gisdalear. Nama yang diberikan seorang Aeswa untuk kuda yang menyelamatkan naywanya ketika hukum belum menaunginya sebagai Dreida. Warna coklat yang kubayangkan dari kuda Aeswa itu sama dengan coklatnya kuda ini.

Itulah pertemuan pertamaku dengan kudaku, yang sekarang terenggut begitu saja. Pertemuan pertamaku dengan Dreida Waryn, yang selalu membantu dan menerimaku apa adanya sebagai teman. Dan pertemuanku dengan pertanyaan pertama tentang Jeaswind Gra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar