Jumat, 23 Mei 2014

Ingatan : 18 tahun lalu



Mataku melongok keluar, menembus bias cahaya. Penjara senantiasa gelap tidak mengijinkan mataku beradaptasi cepat. Pesta penghakiman sedang di siapkan dan orang-orang berlalu lalang diluar, menggotong podium dan menggelar karpet. Tidak kusangka akan semeriah ini untukku.
Kemeriahan mengingatkanku padanya. Pertemuan pertama kami. Delapan belas tahun lalu. Ah, dia begitu muda dan aku masih sangat kecil. Aku mengaguminya. Rambut hitam sekelam cahaya malam membingkai wajah cantik, keberanian yang menggelora dan lengannya. Efek perlindungan dari lengannya masih mendekapku hingga saat ini, meskipun dia sudah tiada.
Esterna Ellane Emor. Pelindungku yang menyebalkan. Aku lebih menyebalkan lagi untuknya.
Delapan belas tahun yang lalu, aku ingat memiliki seorang saudari. Percaya setiap hari bahwa aku bukan anak semata wayang. Berjuang oleh kekangan kasih sayang ibu dan ayah. Terkadang itu menyiksa sementara teman-temanku bebas berkeliaran tanpa alas sepatu dan langit menaungi kepala mereka.
Berapa umurku saat itu? Mungkin empat atau lima.
Memandang keluar jendela adalah satu-satunya yang suka kulakukan ketika musim panas mengirim sengatan cahaya matahari terlalu membara.
Anak-anak sebayaku bermain berkeliaran di bawahnya. Aku tidak perlu melakukan itu tanpa terserang mimisan, pusing dan demam di malam hari. Orang tuaku memilih mengurung sebatas halaman yang masih dinaungi atap. Teman-teman kecil yang sudah kulupa wajahnya sekarang kadang cukup berbaik hati menghampiri dan menghibur dengan bermain di dekat. Hanya supaya aku melihat mereka bermain dengan lebih jelas!
Aku mengutuki betapa payahnya kondisiku.
Bahkan musim hujan tidak memberi dampak baik. Hari-hariku akan terlewati meringkuk di balik selimut, mencari sisa kehangatan atau napasku bakal tersekat.
“Aku punya kakak,” aku bernyanyi. Lirik seharusnya, ‘aku punya kucing’ , ” dan namanya adalah cahaya.”
“Jangan berharap cahaya (Ellane) akan pulang sekarang,” ibu berteriak di dapur. Tidak ada maksud sekalipun untuk menyinggungnya. Hanya mengingat cerita tentang aku memiliki seorang kakak perempuan. Aku hanya medengar cerita tentang dia. Tentang sekolah ketat yang harus dia jalani mengganggu waktu seharusnya kami bertemu. Belum pernah seklipun kami bertemu. Dia pergi ketika usiaku masih beberpa bulan.
“Lalu apa itu?” seketika padanganku menangkap tiga kuda, mendekat lurus kerumahku.
“Jangan mengada-ada,” ibu menghardik. Tapi aku sedang tidak rewel. Aku bukan anak mudah terisak.
“Lihat! Lihat!” aku menjerit-jerit. Benar-benar yakin tiga kuda itu melaju kemari.
Ibu keluar dari dapur, tergopoh-gopoh lari ke pintu. Membukanya cepat dan keras. Cukup menggetarkan rumah mungil kami.

Tiga kuda itu ada dalam ambang batas penglihatannya.
Aku menyaksikan lewat jendela. Bagaimana tiga sosok dia atas tiga tunggangan itu. Dua orang dewasa. Masing-masing laki-laki dan perempuan muda dan satunya kanak-kanak meskipun lebih tua dariku. Ibu menutup mulutnya rapat-rapat. Cahaya terik siang memantulkan tiap titik air yang membasahi pipinya. Histerisnya tidak bisa dibendung lagi.
“Esterna Ellane Emor. Demi Tuhan!” suara teriakannya kuat namun gemetar. Sayangnya tidak sekuat sosok kanak-kanak di kuda paling belakang.
Tunggu! Siapa namanya?
Pandanganku tersentak ketika ibu menyeruak mendekat. Tidak lebih cepat dari satu kuda yang langsung menyambar, menghalangi jalannya. Seorang laki-laki berpakaian zirah lengakp memandang tajam.
“Biarkan aku menyentuh putriku, Alonulis,” ibu merengek pada sosok perempuan tidak bergeming. Aku tidak suka pada suara yang selalu menguatkanku terdengar begitu rapuh. Lebih tidak suka dan benci pada apa yang membuatnya begitu. Wanita itu penyebabnya.
Hati kecilku tersayat dan mengutuk.
Sosok anak-anak di atas kuda membatu. Matanya terbelalak tidak sanggup melakukan apapun. Dia kebingungan dari gerakan gelisah kepalanya. Sampai dia menemukan pandanganku.
Mata cokelat berkilat menatapku. Telingaku rasanya tersumpal bantal, menyadari betapa miripnya dia dengan ibu. Mata, hidung dan rambut tergerai halus berombak. Meskipun banyak orang mengatakan betapamiripnya aku dengan dia, tapi gadis ini… dia lebih cantik. Mirip ibu dan cantik. Aku merasa mendapat saingan.
“Saer?” ucapan itu menjadi satu-satunya suara yang berhasil kutangkap. Sebelum mengembalikan pandanganku pada ibu yang masih memohon-mohon pada sosok perempuan di satu kuda di belakang si prajurit.
“Tolonglah,” kata si perempuan halus penuh sesal,”Aku ingin melihat putrimu.”
“Tolong, aku ingin memeluk putriku.”
Mereka berdua sama-sama meminta. Tidak perlu penjelasan pada siapa aku memihak.
Ketakutan dan sakit hati oleh tangisan ibu, aku meelsat keluar. Di mana, sih, ayah? Kemudian menubruk tubuhnya dari belakang. Sekuat tangan-tangan kecilku bisa, memeluknya erat.
Marah menguasaiku. Tanpa gelimangan apapun aku menatap garang  sosok si perempuan. Dia tengah menarik napas dalam-dalam ketika sosok anak-anak tiba-tiba melompat turun dan menubruk kami.
“Ell, oh, Ell,” aku mendengar namanya di sebut dalam setiap tarikan napas ibu. Tangannya mendekap kami dalam porsi yang sama. Aku tidak tahu apa yang Ibu dan Ell saling katakan. Mataku sibuk menatap sosok wanita di atas kudanya.
Pandangan balas menatapku seluas lautan teduh membuat mataku berkedip-kedip. Semakin bingung dan melunak di setiap kedipannya.
“Aku ingin bicara,” katanya lembut, turun dari kudanya.

Aku lupa  apa persisinya yang terjadi setelah itu, yang membawaku kembali terkurung di dalam kamar bersama Ellena. Ayah, yang baru saja kembali dari sungai, ibu dan dua orang tamu dewasa berbincang di ruang depan. Bukan perbincangan tepat untuk anak-anak jika mereka menatapmu dengan tidak pandangan nyaman sebelum bicara.

Inilah Ellane sang cahayaang selalu kusebut-sebut dalam kejenuhanku pada kesepian. Dia tidak terlalu tinggi atau terlalu pendek untuk anak seusinya. Bermata coklat, rambut panjang mengombak dalam kepangan ganda. Aku selalu heran kenapa hanya aku yang bermata hijau diantara keluarga. Satu yang kuingat dia cekatan dan belati yang nyelip di pinggangnya sempat membuatku bergidik. Dia berkutat dengan isi lemariku. Mengeluarkan pakaian dan kebutuhan harianku. Menatanya dalam dua buntelan.
“Apa akan ada perjalanan?” tanyaku sibuk mengamatinya dengan kaki-kaki terjulur menggantung keluar dipan.
“Ya,” jawab Ell seperlunya, memaksa pakaian hangatku masuk.
“Apa kau ikut?” pikiranku belum cepat tanggap tentang tujuan dia mengepak semua barang-barangku.
“Tentu saja.”
“Mau kemana?”
“Sekolah. Sudah saatnya kau sekolah,” dia tidak mandangku. Sekolah? Seperti yang dilakukannya di tahun-tahun tanpa kehadirannya dalam rumah ini?
Ell menjejalkan daun-daunan kering yang biasa diguakan ibu untuk mengasapi hidungku saat tersumbat dan beberapa lebar sirih. Sementara kata sekolah terpatri menjadi sebuah kegiatan menyenagkan selain menatap keluar jendela atau meringkuk di balik selimut.
“Kau akan bersamaku dan aku akan menjagamu. Bukankah kita saudara?”
Jika dia mengatakan itu sekarang, akan jadi musik indah untuk telingaku. Jika dia masih ada untuk mengatakannya.
Mataku menemukan mata cokelatnya lagi, cepat-cepat beralih.
“Tidak tahu.”                                                                        
Kikikkan geli Ell bersambut oleh pintu terbuka.
“Sudah saatnya,” suara ayah lirih tanpa menunjukkan sosoknya terdengar dari balik pintu.

Aku benci perpisahan ketika orang-orang bereaksi berlebihan dengan peluk, cium dan air mata yang tidak mengundang simpatiku sama sekali. Akukan akan bersenang-senang. Toh juga akan pulang, aku berjanji. Satu bulan sekali, mungkin, tidak akan selama Ell.
Prajurit menaikkan tubuhku ke atas punggung kuda. Berhasil duduk nyaman pada sedel ganda di belakang Ellena.
Aku tersenyum bangga menyambut sekolah. Sayangnya tangis ibu belum juga reda. Dan tangan ayah gemetar merangkulnya.
“Aku baik-baik saja,”teriakku ketika kuda berbalik arah. Jantungku tidak pernah berdegub sekeras ini.
“Ellena,” ibuku berteriak dengan suara parau. Aku menoleh, menempelkan kepalaku ke punggung Ell. Nyaman sekali. "Jaga dia untukku."
Aku tidak pernah menduga dia akan datang dan membawaku pergi. Ini yang selalu kuinginkan.
“Pasti,” katanya tegas. Memacu kuda. Tubuhku tersentak.
Dan perjalanku dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar