Mataku melongok
keluar, menembus bias cahaya. Penjara senantiasa gelap tidak mengijinkan mataku beradaptasi cepat. Pesta penghakiman sedang di siapkan dan orang-orang berlalu lalang
diluar, menggotong podium dan menggelar karpet. Tidak kusangka akan semeriah
ini untukku.
Kemeriahan mengingatkanku
padanya. Pertemuan pertama kami. Delapan belas tahun lalu. Ah, dia begitu muda
dan aku masih sangat kecil. Aku mengaguminya. Rambut hitam sekelam cahaya malam
membingkai wajah cantik, keberanian yang menggelora dan lengannya. Efek perlindungan
dari lengannya masih mendekapku hingga saat ini, meskipun dia sudah tiada.
Esterna Ellane Emor. Pelindungku
yang menyebalkan. Aku lebih menyebalkan lagi untuknya.
Delapan belas tahun
yang lalu, aku ingat memiliki seorang saudari. Percaya setiap hari bahwa aku
bukan anak semata wayang. Berjuang oleh kekangan kasih sayang ibu dan ayah. Terkadang
itu menyiksa sementara teman-temanku bebas berkeliaran tanpa alas sepatu dan
langit menaungi kepala mereka.
Berapa umurku saat
itu? Mungkin empat atau lima.
Memandang keluar
jendela adalah satu-satunya yang suka kulakukan ketika musim panas mengirim
sengatan cahaya matahari terlalu membara.
Anak-anak sebayaku
bermain berkeliaran di bawahnya. Aku tidak perlu melakukan itu tanpa terserang
mimisan, pusing dan demam di malam hari. Orang tuaku memilih mengurung sebatas
halaman yang masih dinaungi atap. Teman-teman kecil yang sudah kulupa wajahnya
sekarang kadang cukup berbaik hati menghampiri dan menghibur dengan bermain di
dekat. Hanya supaya aku melihat mereka bermain dengan lebih jelas!
Aku mengutuki betapa
payahnya kondisiku.
Bahkan musim hujan
tidak memberi dampak baik. Hari-hariku akan terlewati meringkuk di balik
selimut, mencari sisa kehangatan atau napasku bakal tersekat.
“Aku punya kakak,”
aku bernyanyi. Lirik seharusnya, ‘aku punya kucing’ , ” dan namanya adalah
cahaya.”
“Jangan berharap
cahaya (Ellane) akan pulang sekarang,” ibu berteriak di dapur. Tidak ada maksud
sekalipun untuk menyinggungnya. Hanya mengingat cerita tentang aku memiliki
seorang kakak perempuan. Aku hanya medengar cerita tentang dia. Tentang sekolah
ketat yang harus dia jalani mengganggu waktu seharusnya kami bertemu. Belum pernah
seklipun kami bertemu. Dia pergi ketika usiaku masih beberpa bulan.
“Lalu apa itu?”
seketika padanganku menangkap tiga kuda, mendekat lurus kerumahku.
“Jangan mengada-ada,”
ibu menghardik. Tapi aku sedang tidak rewel. Aku bukan anak mudah terisak.
“Lihat! Lihat!” aku
menjerit-jerit. Benar-benar yakin tiga kuda itu melaju kemari.
Ibu keluar dari
dapur, tergopoh-gopoh lari ke pintu. Membukanya cepat dan keras. Cukup menggetarkan
rumah mungil kami.
Tiga kuda itu ada
dalam ambang batas penglihatannya.
Aku menyaksikan lewat
jendela. Bagaimana tiga sosok dia atas tiga tunggangan itu. Dua orang dewasa.
Masing-masing laki-laki dan perempuan muda dan satunya kanak-kanak meskipun lebih
tua dariku. Ibu menutup mulutnya rapat-rapat. Cahaya terik siang memantulkan
tiap titik air yang membasahi pipinya. Histerisnya tidak bisa dibendung lagi.
“Esterna Ellane Emor.
Demi Tuhan!” suara teriakannya kuat namun gemetar. Sayangnya tidak sekuat sosok
kanak-kanak di kuda paling belakang.
Tunggu! Siapa
namanya?
Pandanganku tersentak
ketika ibu menyeruak mendekat. Tidak lebih cepat dari satu kuda yang langsung
menyambar, menghalangi jalannya. Seorang laki-laki berpakaian zirah lengakp
memandang tajam.
“Biarkan aku
menyentuh putriku, Alonulis,” ibu merengek pada sosok perempuan tidak
bergeming. Aku tidak suka pada suara yang selalu menguatkanku terdengar begitu
rapuh. Lebih tidak suka dan benci pada apa yang membuatnya begitu. Wanita itu
penyebabnya.
Hati kecilku tersayat
dan mengutuk.
Sosok anak-anak di atas
kuda membatu. Matanya terbelalak tidak sanggup melakukan apapun. Dia
kebingungan dari gerakan gelisah kepalanya. Sampai dia menemukan pandanganku.
Mata cokelat berkilat
menatapku. Telingaku rasanya tersumpal bantal, menyadari betapa miripnya dia
dengan ibu. Mata, hidung dan rambut tergerai halus berombak. Meskipun banyak
orang mengatakan betapamiripnya aku dengan dia, tapi gadis ini… dia lebih
cantik. Mirip ibu dan cantik. Aku merasa mendapat saingan.
“Saer?” ucapan itu
menjadi satu-satunya suara yang berhasil kutangkap. Sebelum mengembalikan
pandanganku pada ibu yang masih memohon-mohon pada sosok perempuan di satu kuda
di belakang si prajurit.
“Tolonglah,” kata si
perempuan halus penuh sesal,”Aku ingin melihat putrimu.”
“Tolong, aku ingin
memeluk putriku.”
Mereka berdua
sama-sama meminta. Tidak perlu penjelasan pada siapa aku memihak.
Ketakutan dan sakit
hati oleh tangisan ibu, aku meelsat keluar. Di mana, sih, ayah? Kemudian
menubruk tubuhnya dari belakang. Sekuat tangan-tangan kecilku bisa, memeluknya
erat.
Marah menguasaiku. Tanpa
gelimangan apapun aku menatap garang sosok si perempuan. Dia tengah menarik napas
dalam-dalam ketika sosok anak-anak tiba-tiba melompat turun dan menubruk kami.
“Ell, oh, Ell,” aku
mendengar namanya di sebut dalam setiap tarikan napas ibu. Tangannya mendekap
kami dalam porsi yang sama. Aku tidak tahu apa yang Ibu dan Ell saling katakan.
Mataku sibuk menatap sosok wanita di atas kudanya.
Pandangan balas
menatapku seluas lautan teduh membuat mataku berkedip-kedip. Semakin bingung
dan melunak di setiap kedipannya.
“Aku ingin bicara,”
katanya lembut, turun dari kudanya.
Aku lupa apa persisinya yang terjadi setelah itu, yang
membawaku kembali terkurung di dalam kamar bersama Ellena. Ayah, yang baru saja
kembali dari sungai, ibu dan dua orang tamu dewasa berbincang di ruang depan.
Bukan perbincangan tepat untuk anak-anak jika mereka menatapmu dengan tidak pandangan
nyaman sebelum bicara.
Inilah Ellane sang cahayaang selalu kusebut-sebut dalam kejenuhanku pada kesepian. Dia tidak
terlalu tinggi atau terlalu pendek untuk anak seusinya. Bermata coklat, rambut
panjang mengombak dalam kepangan ganda. Aku selalu heran kenapa hanya aku yang
bermata hijau diantara keluarga. Satu yang kuingat dia cekatan dan belati yang
nyelip di pinggangnya sempat membuatku bergidik. Dia berkutat dengan isi
lemariku. Mengeluarkan pakaian dan kebutuhan harianku. Menatanya dalam dua
buntelan.
“Apa akan ada
perjalanan?” tanyaku sibuk mengamatinya dengan kaki-kaki terjulur menggantung
keluar dipan.
“Ya,” jawab Ell
seperlunya, memaksa pakaian hangatku masuk.
“Apa kau ikut?”
pikiranku belum cepat tanggap tentang tujuan dia mengepak semua
barang-barangku.
“Tentu saja.”
“Mau kemana?”
“Sekolah. Sudah
saatnya kau sekolah,” dia tidak mandangku. Sekolah? Seperti yang dilakukannya
di tahun-tahun tanpa kehadirannya dalam rumah ini?
Ell menjejalkan
daun-daunan kering yang biasa diguakan ibu untuk mengasapi hidungku saat
tersumbat dan beberapa lebar sirih. Sementara kata sekolah terpatri menjadi
sebuah kegiatan menyenagkan selain menatap keluar jendela atau meringkuk di balik
selimut.
“Kau akan bersamaku
dan aku akan menjagamu. Bukankah kita saudara?”
Jika dia mengatakan
itu sekarang, akan jadi musik indah
untuk telingaku. Jika dia masih ada untuk mengatakannya.
Mataku menemukan mata
cokelatnya lagi, cepat-cepat beralih.
“Tidak tahu.”
Kikikkan geli Ell
bersambut oleh pintu terbuka.
“Sudah saatnya,” suara
ayah lirih tanpa menunjukkan sosoknya terdengar dari balik pintu.
Aku benci perpisahan
ketika orang-orang bereaksi berlebihan dengan peluk, cium dan air mata yang
tidak mengundang simpatiku sama sekali. Akukan akan bersenang-senang. Toh juga
akan pulang, aku berjanji. Satu bulan sekali, mungkin, tidak akan selama Ell.
Prajurit menaikkan
tubuhku ke atas punggung kuda. Berhasil duduk nyaman pada sedel ganda di
belakang Ellena.
Aku tersenyum bangga
menyambut sekolah. Sayangnya tangis ibu belum juga reda. Dan tangan ayah
gemetar merangkulnya.
“Aku baik-baik saja,”teriakku
ketika kuda berbalik arah. Jantungku tidak pernah berdegub sekeras ini.
“Ellena,” ibuku
berteriak dengan suara parau. Aku menoleh, menempelkan kepalaku ke punggung
Ell. Nyaman sekali. "Jaga dia untukku."
Aku tidak pernah
menduga dia akan datang dan membawaku pergi. Ini yang selalu kuinginkan.
“Pasti,” katanya
tegas. Memacu kuda. Tubuhku tersentak.
Dan perjalanku dimulai.